JAKARTA - Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Meski kata pertanahan tidak tertuang secara eksplisit dalam pasal tersebut, tanah yang merupakan bagian dari bumi harus dimanfaatkan dengan adil dan sebaik mungkin bagi mereka yang berhak.
Namun dalam kenyataannya, konflik pertanahan sering kali terjadi.
Tumpang tindih alas hak dan klaim antarpihak pun kerap mencuat di berbagai wilayah tanah air.
BACA JUGA:Lomba Poster-Cipta Lagu Gunakan AI Warnai Lomba Agustusan di Jember
BACA JUGA:Presiden Jokowi Pimpin Sidang Paripurna Perdana di Istana Garuda IKN
Konflik ini tidak hanya terjadi antarwarga, tetapi juga melibatkan warga dan korporasi, sesama korporasi, bahkan aset negara turut menjadi objek sengketa.
Kondisi ini sering kali berlangsung bertahun-tahun, bahkan ada yang tercatat puluhan tahun.
Konflik berkepanjangan ini biasanya bukan terjadi secara alami, melainkan disebabkan oleh ulah mafia tanah yang mencari keuntungan.
Ulah mafia tanah tidak hanya merugikan pemilik lahan yang sah, tetapi juga menyebabkan kerugian berskala besar.
BACA JUGA:Mengentaskan Kemiskinan dari Pinggiran Lewat Izin Pengelolaan Hutan
BACA JUGA:Presiden: HGU 190 Tahun di IKN untuk Tarik Investasi Sebesarnya
Misalnya, ketika investor hendak masuk ke suatu daerah namun terhalang sengketa lahan, akhirnya batal berinvestasi.
Padahal, investasi tersebut bisa membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan perekonomian daerah.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyatakan kasus seperti ini pernah terjadi di Kabupaten Grobogan dan Kota Semarang, Jawa Tengah.