Masukan itu disampaikan dalam forum kunjungan kerja Komisi III DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025–2026 di Polda Banten, yang meninjau langsung kinerja dan tantangan aparat penegak hukum di wilayah provinsi.
Di sisi lain, Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kemenko Kumham Imipas) menyebutkan, alternatif pidana menjadi solusi dalam mengatasi kelebihan masa tahanan (overstaying) pada lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan).
Dalam rapat koordinasi di Surabaya, Jawa Timur, Senin (22/9), Asisten Deputi Koordinasi Tata Kelola Pemasyarakatan Kemenko Kumham Imipas Jumadi menyampaikan bahwa persoalan overstaying sudah lama menjadi catatan rutin, bahkan menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Masalah ini bukan semata akibat kelalaian petugas, melainkan juga keterbatasan sistem administrasi dan aplikasi yang ada," ungkap Jumadi, seperti dikutip dari keterangan tertulis yang dikonfirmasi di Jakarta.
Karena itu, sambung dia, diperlukan penguatan komunikasi antarlembaga penegak hukum, pemanfaatan teknologi informasi, serta kepatuhan pada regulasi agar penanganan overstaying tidak lagi menimbulkan beban tambahan bagi lapas dan rutan.
Menurutnya, optimalisasi koordinasi lintas instansi menjadi kunci agar penyelesaian perkara tidak tertunda dan pidana alternatif dapat diterapkan lebih efektif.
Adapun Pemerintah terus berupaya mengatasi persoalan overstaying atau kelebihan masa tahanan di lapas dan rutan, yang selama ini menjadi salah satu pemicu terjadinya isi lapas dan rutan melebihi kapasitas (overcapacity) dan pelanggaran hak asasi manusia.
Salah satu langkah penting yang sedang dipersiapkan, yaitu penerapan pidana alternatif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan berlaku pada 2 Januari 2026.
Asisten Deputi Reformasi Hukum dan Keadilan Restoratif Kemenko Kumham Imipas Robianto mengatakan, KUHP baru memberi ruang lebih luas bagi hakim untuk tidak semata-mata menjatuhkan pidana penjara.
“Pidana penjara bukan lagi sanksi utama. Ada pilihan lain seperti kerja sosial, pidana denda, maupun pengawasan," ujar Robianto.
Dengan diversifikasi tersebut, dirinya berharap tidak ada lagi penumpukan narapidana sekaligus mendorong sistem pemasyarakatan yang lebih manusiawi.
Deputi Bidang Koordinasi Keimigrasian dan Pemasyarakatan Kemenko Kumham Imipas I Nyoman Gedhe Surya Mataram pun menegaskan pentingnya kerja sama lintas sektor dalam penanganan overstaying.
Dikatakan bahwa setidaknya terdapat tiga hal utama yang menjadi fokus, yakni menyatukan data dan langkah antar-instansi, menyusun mekanisme penyelesaian yang terintegrasi dengan alternatif pidana, serta membangun komitmen bersama agar penanganan overstaying dilakukan secara efektif.
Kejaksaan turut menunjukkan peran aktif dalam penerapan pidana alternatif. Kepala Seksi C Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Edy Budianto menyampaikan sejak 2025 pihaknya sudah melaksanakan pidana bersyarat, pengawasan, dan kerja sosial.
“Sudah ada 79 perkara yang diselesaikan dengan kerja sosial, mulai dari membersihkan tempat ibadah hingga menjaga keamanan lingkungan. Semua dilakukan dengan sinergi bersama pemerintah daerah dan masyarakat,” kata Edy.
Dari sisi kepolisian, Direktur Perawatan Tahanan dan Barang Bukti Polda Jatim Eka Yekti Hananto Seno menjelaskan, pihaknya mengembangkan aplikasi Simatahati untuk mendata tahanan dan memberikan notifikasi otomatis ketika masa tahanan hampir habis.