Untuk itu, Shroff mengusulkan pendekatan Human-Centered AI (HCAI) yang menempatkan seniman sebagai aktor utama dalam proses desain, regulasi, dan pemanfaatan teknologi.
Jika tidak diadopsi secara sukarela, regulasi hukum perlu diberlakukan untuk memastikan keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia dalam era AI.
Indonesia tidak luput dari risiko eksploitasi kecerdasan buatan (AI) terhadap kekayaan budayanya.
Musik tradisional yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa seperti dangdut, keroncong, gamelan, hingga musik-musik daerah dari Nusa Tenggara Timur, Minangkabau, dan Papua telah tersedia bebas di berbagai platform digital.
Besar kemungkinan bahwa karya-karya tersebut telah digunakan sebagai bahan pelatihan algoritma AI tanpa izin, tanpa pencatatan, dan tentu saja tanpa kompensasi.
Sayangnya, Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 yang berlaku saat ini belum mampu merespons perkembangan teknologi AI secara memadai.
Tidak ada pengaturan mengenai batasan legal dalam pelatihan AI, tidak ada definisi eksplisit mengenai fair use dalam konteks pembelajaran mesin, dan tidak ada instrumen hukum yang memungkinkan musisi Indonesia menuntut perusahaan teknologi asing yang menyalahgunakan karya mereka.
Dalam posisi sebagai pengguna teknologi, bukan pengembangnya, Indonesia menghadapi kesenjangan kuasa yang semakin melebar.
Namun demikian, teknologi tidak boleh hanya dianggap sebagai ancaman.
Justru, perkembangan AI dan platform digital dapat menjadi peluang strategis bagi musisi untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada label besar atau studio konvensional.
AI dapat menjadi alat bantu dalam berbagai aspek produksi musik, mulai dari penciptaan melodi, mixing, hingga visualisasi dan promosi, tanpa menghilangkan nilai artistik.
Dengan semakin terjangkaunya teknologi dan terbukanya akses ke platform seperti YouTube, TikTok, dan Spotify, kreativitas kini lebih ditentukan oleh kemampuan beradaptasi dan orisinalitas, bukan semata oleh modal atau koneksi industri.
Ini membuka jalan bagi demokratisasi produksi musik di mana seniman memiliki lebih banyak kontrol atas karya dan karier mereka.
Fenomena ini telah terbukti dari keberhasilan sejumlah musisi independen seperti Hindia, Pamungkas, dan Nadin Amizah.
Tanpa campur tangan label besar, mereka mampu menjangkau audiens luas, menjaga orisinalitas karya, dan membangun koneksi langsung dengan pendengar.
Momentum ini harus dimanfaatkan sebagai model bahwa AI dan platform digital dapat memperkuat otonomi seniman, bukan justru memperpanjang dominasi industri besar.