Oleh karena itu, musisi perlu diberdayakan untuk memahami dan mengendalikan teknologi, bukan ditinggalkan dalam ketidakpastian regulasi.
Di sinilah peran pemerintah menjadi sangat strategis.
Revisi terhadap Undang-Undang Hak Cipta harus segera dilakukan untuk merespons realitas baru ini, termasuk mengatur pelatihan AI, menetapkan lisensi kolektif, dan menciptakan mekanisme kompensasi yang adil.
Lebih dari itu, negara harus mendorong kebijakan platform digital agar lebih berpihak kepada kreator lokal.
Ini termasuk transparansi algoritma distribusi dan pembagian royalti yang proporsional, sehingga ekosistem musik nasional tetap adil, berkelanjutan, dan berdaya saing global.
Isu ini tentu bukan hanya urusan domestik, tetapi juga tantangan global yang menuntut respons kolektif.
UNESCO pada 2021 telah merumuskan Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence, sebuah kerangka kerja internasional pertama yang menegaskan bahwa AI tidak boleh merusak keragaman budaya dan kebebasan berekspresi.
Namun, rekomendasi ini harus diikuti dengan implementasi nyata di tingkat nasional dan internasional.
Negara-negara anggota, termasuk Indonesia, didorong untuk merumuskan kebijakan yang mengikat, menuntut transparansi dari perusahaan teknologi, serta menjamin keadilan bagi negara-negara berkembang yang karyanya sering diambil tanpa pengakuan.
Ini adalah momen bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan, tidak hanya dalam melindungi senimannya, tetapi juga dalam membentuk masa depan etis bagi teknologi global.
Putusan hukum di AS hanyalah permulaan.
AI akan terus berkembang dan memainkan peran besar dalam industri kreatif.
Kita tidak bisa menghindarinya.
Tapi kita bisa mengaturnya. Bahkan, imajinasi pun harus dikelola agar tidak merusak ekosistem. (ant)