JAKARTA, KORANPALPOS.COM - Wacana merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengemuka usai Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 pada 22 April 2024.
Dalam persidangan tersebut, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menegaskan diperlukannya perubahan paradigma mengenai netralitas kekuasaan eksekutif demi mewujudkan pemilihan umum yang jujur dan adil sebagaimana amanat Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).
BACA JUGA:Menakar Peluang Jelang Pilgub Sumsel 2024 : Elektabilitas Petahana Tertinggi !
BACA JUGA:Pj Gubernur Sumsel Segera Bentuk Tim Pencarian Peninggalan Sejarah
Namun demikian, perubahan paradigma tersebut harus dilakukan melalui perubahan UU Pemilu.
Selain itu, pembatasan terhadap penggunaan maupun menghubungkan antara program Pemerintah atau negara dengan kepentingan pribadi, terutama dalam kontestasi pemilu atau kepentingan elektoral lainnya, perlu segera diatur sebelum pelaksanaan pemilu atau pilkada berikutnya.
Perbaikan tata penyaluran bantuan sosial (bansos) yang berdekatan dengan masa penyelenggaraan pemilu juga disebut perlu diatur secara jelas, terutama berkaitan dengan tata cara penyalurannya; yakni waktu, tempat, maupun pihak-pihak yang dapat menyalurkan bansos.
Pengaturan itu penting dilakukan agar penyaluran bansos tidak dimaknai sebagai bantuan bagi kepentingan elektoral tertentu.
BACA JUGA:Enos dan Yudha Ambil Formulir Pendaftaran di Partai Demokrat
BACA JUGA:Optimisme Perempuan Menjadi Ibu Sekaligus Pemimpin
Terlebih, pendanaan bansos maupun bantuan presiden bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pengaturan mengenai bansos dianggap penting agar praktik pemberian bansos yang dicurigai dalam PHPU Pilpres 2024 tidak diikuti oleh para petahana atau pejabat publik pengelola anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk perhelatan pilkada.
Sementara itu, Ketua MK Suhartoyo berpandangan terdapat beberapa kelemahan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu; seperti UU Pemilu, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), serta Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sehingga menimbulkan kebuntuan bagi Bawaslu dalam upaya penindakan terhadap penyelenggaraan pemilu.
UU Pemilu juga disebut belum memberikan pengaturan terkait dengan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai.