Yang lebih mendesak dari pelarangan adalah bagaimana kita, sebagai orang tua dan pendidik, ikut hadir dan melek dalam dunia digital yang dihuni anak-anak.
Sayangnya, banyak orang dewasa yang merasa cukup dengan hanya mengontrol, melarang, atau mencabut akses.
Padahal, zaman ini menuntut lebih dari itu: menjadi pendamping yang terlibat, pembimbing yang relevan, dan pembelajar yang rendah hati terhadap dunia baru anak.
Menariknya, Roblox sejatinya bukan platform jahat. Ada potensi edukatif yang justru bisa menjadi alat bantu pendidikan jika diarahkan dengan baik.
Roblox Studio, misalnya, memungkinkan anak-anak belajar dunia desain game dan dasar-dasar pemrograman dengan bahasa Lua.
Banyak anak belajar berpikir logis, menyusun algoritma, dan menyelesaikan masalah secara kreatif saat mereka membangun game mereka sendiri.
Sayangnya, potensi ini sering tidak dikenali karena kita terlalu fokus pada sisi gelapnya.
Padahal, seperti halnya dunia nyata, dunia digital juga tidak hitam-putih.
Yang menentukan apakah ia membawa manfaat atau mudarat bukan hanya dari medianya, tetapi dari cara kita memakai, mengakses, dan mendampinginya.
Jalan tengah
Maka, dibutuhkan pendekatan yang lebih bijak dan jangka panjang. Bukan semata pelarangan, tetapi pendampingan dan edukasi digital yang menyeluruh.
Beberapa hal bisa menjadi bagian dari solusi jalan tengah.
Pertama, perlu dilakukan literasi digital sejak dini.
Anak perlu diajari mengenali risiko dan peluang dunia maya. Kurikulum sekolah semestinya memasukkan tema-tema etika digital, keamanan online, dan kesadaran akan jejak digital (digital footprint).
Kedua, dibutuhkan keterlibatan orang tua secara aktif. Orang tua perlu mengubah pola komunikasi dari melarang menjadi dialog.
Misalnya, menanyakan bukan hanya “Main Apa?” tetapi juga “Apa yang kamu pelajari dari game itu?” Anak perlu merasa dunia digital mereka dipahami, bukan dimusuhi.