Menurut dia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan mengoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan unsur militer dan sipil, khususnya jika sejak awal ditangani oleh KPK.
Terkait dengan sistem penahanan, Prof. Hibnu menilai RUU KUHAP mengatur penahanan secara lebih ketat sesuai dengan instrumen internasional HAM, sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 angka (8) RUU KUHAP.
Ia juga mengkritisi wewenang penuntut umum yang sangat terbatas karena tidak memiliki kewenangan penyidikan maupun supervisi atas penyidikan.
"Bahkan dalam praktiknya, jika mengacu pada Pasal 59 RUU KUHAP, tidak semua penyidikan diberitahukan kepada penuntut umum," katanya.
Kendati demikian, dia menilai RUU KUHAP cukup progresif dalam mengantisipasi perkembangan jenis alat bukti, seiring dengan perkembangan tindak pidana, teknologi informasi dan elektronik (ITE), serta dinamika masyarakat.
Prof. Hibnu mengharapkan perubahan tersebut mempermudah hakim dalam menegakkan hukum, misalnya dengan mengganti alat bukti petunjuk menjadi pengamatan hakim.
Menurut dia, inovasi lain yang diusung berupa penyelesaian perkara di luar pengadilan, termasuk mekanisme perdamaian antara pelaku dan korban dengan ganti rugi, bahkan untuk perkara berat.
Prof. Hibnu mengatakan konsep tersebut sangat progresif, responsif, dan sejalan dengan tujuan pemidanaan berdasarkan hukum pidana materiil.
"Penegakan hukum yang terlalu legalistis, formal, dan kaku saat ini justru menjauhkan hukum dari rasa keadilan masyarakat," katanya.
Dia memandang konsep ini sebagai terobosan baik yang mengembalikan penegakan hukum pada asas musyawarah yang telah lama dianut bangsa Indonesia.
Terkait dengan pembuktian, dia mengatakan RUU KUHAP juga memuat pengaturan tentang saksi mahkota sehingga dalam kondisi tertentu, tersangka dengan peran paling ringan dapat dijadikan saksi untuk memberatkan terdakwa lain dengan imbalan hukuman yang lebih ringan.
Sementara dalam hal peninjauan kembali (PK), kata dia, perlu adanya perbaikan pengambilan putusan, yakni harus diputus melalui sidang pleno Mahkamah Agung yang dipimpin langsung ketua MA untuk menjamin konsistensi dan akurasi dalam pengambilan keputusan.
"PK seharusnya tidak dilakukan berulang kali, agar tetap sesuai dengan filosofi dasar dan prinsip trilogi peradilan," katanya menegaskan.
Mengenai jalur khusus untuk mempercepat proses dan biaya ringan, dia mengingatkan bahwa penegakan hukum di Indonesia belum sepenuhnya sesuai harapan, sehingga aparat penegak hukum harus lebih berhati-hati dan memastikan kebenaran dalam penerapan jalur khusus tersebut.
Ia mengatakan sistem persidangan dalam RUU KUHAP juga mengarah pada adversary system atau sistem berimbang, di mana yang menentukan salah atau tidaknya terdakwa adalah sidang pengadilan, bukan Berita Acara.
"Dalam sistem ini, JPU (jaksa penuntut umum) akan menentukan saksi yang lebih dahulu diperiksa dan di-cross oleh penasihat hukum," katanya.