"Draf ini masih bersifat dinamis. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu tidak akan mengatur secara khusus KPK atau Badan Narkotika Nasional (BNN), tetapi ia bersifat umum," ungkap Eddy, sapaan karib Wamenkum dalam konferensi pers di Depok, Jawa Barat, Selasa (29/07/2025).
Ia pun mencontohkan salah satu pengecualian yang diberikan kepada KPK dalam proses penegakan hukum pada RUU KUHAP, yakni koordinator pengawasan penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Eddy menyebutkan hal itu tidak berlaku untuk penyidik di Kejaksaan, KPK, maupun Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Begitu pula, kata Eddy, terkait upaya paksa seperti penangkapan dan penahan yang harus berkoordinasi dengan Polri, yang juga dikecualikan untuk Kejaksaan, TNI, dan KPK.
Maka dari itu, dia berharap seluruh pihak tidak perlu mengkhawatirkan aturan dalam RUU KUHAP. Ia pun menilai situasi kekhawatiran saat ini dahulu sudah pernah terjadi saat pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Kala itu ada kekhawatiran dari KPK bahwa masuknya korupsi di dalam Pasal 603-604 KUHP akan mengganggu pemberantasan tindakan korupsi. Kenyataannya kan tidak," katanya.
Sebelumnya, Ketua KPK Setyo Budiyanto memandang bahwa RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP berpotensi mengurangi fungsi pemberantasan korupsi.
“Kami melihatnya ada potensi-potensi yang kemudian bisa berpengaruh mengurangi kewenangan, tugas, dan fungsi daripada Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Setyo, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (17/7).
Oleh sebab itu, dia mengatakan KPK sudah melakukan diskusi kelompok terpumpun (FGD) bersama sejumlah pakar untuk membandingkan RUU KUHAP dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, KPK dikatakan juga telah berkomunikasi dengan Kementerian Hukum guna membahas RUU KUHAP.
Setyo mengingatkan Panitia Kerja RUU KUHAP agar berbagai aturan dalam rancangan peraturan tersebut sinkron, sehingga tidak memiliki perbedaan antara batang tubuh dengan ketentuan peralihan.
Ia turut mengingatkan agar upaya-upaya paksa yang biasa dilakukan KPK agar tidak diubah, atau menjadi harus dikoordinasikan oleh pihak lain dalam RUU KUHAP.
Di sisi lain, Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho mengharapkan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dapat memperkuat sistem peradilan pidana di Indonesia dan selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu, Prof. Hibnu menyoroti sejumlah isu krusial yang perlu menjadi perhatian dalam penyusunan RUU KUHAP, salah satunya berkaitan dengan penyempurnaan pengaturan peradilan koneksitas.
Menurut dia, aturan mengenai koneksitas yang melibatkan peradilan militer dan umum masih belum diatur secara optimal dalam KUHAP saat ini.
"RUU KUHAP perlu memperkuat keberadaan jaksa penuntut umum militer, terutama dalam perkara koneksitas korupsi sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XXI/2023," katanya menjelaskan.