Sate usus awalnya populer di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Di Yogyakarta, sate usus bahkan sering dijadikan lauk pendamping nasi kucing dalam sajian angkringan.
Seiring waktu, camilan ini merambah ke berbagai daerah dan menjadi bagian dari budaya kuliner kaki lima di Indonesia.
Kreativitas para pedagang juga mendorong inovasi pada sate usus.
Kini, kita bisa menemukan sate usus dengan berbagai varian rasa seperti sate usus bumbu rujak, sate usus crispy, hingga sate usus bakar madu.
Bahkan, beberapa restoran modern mulai menyajikan sate usus sebagai menu pembuka atau snack khas Nusantara.
Meski terbuat dari jeroan, sate usus yang dibuat dengan cara higienis tetap aman dikonsumsi.
Usus ayam harus dicuci bersih hingga tidak meninggalkan bau amis.
Biasanya, penjual juga merebus usus dalam air mendidih sebelum diolah lebih lanjut agar teksturnya empuk dan tidak alot.
Setelah dibumbui, usus ditusuk menggunakan bambu kecil lalu dibakar di atas arang panas.
Aroma yang dihasilkan dari pembakaran inilah yang menggugah selera dan membuat pengunjung rela antre demi seporsi sate usus hangat.
Usus ayam mengandung protein dan lemak, meskipun kandungan kolesterolnya cukup tinggi.
Oleh karena itu, konsumsi sate usus sebaiknya dibatasi dan diselingi dengan makanan berserat tinggi seperti sayuran atau buah.
Untuk menjaga keseimbangan gizi, konsumen juga disarankan untuk memilih sate usus yang diolah dengan cara dipanggang daripada digoreng.
Ahli gizi menyarankan agar sate usus tidak dikonsumsi terlalu sering, terutama bagi mereka yang memiliki riwayat penyakit kolesterol tinggi.
Namun, dalam porsi sedang, sate usus tetap bisa menjadi camilan nikmat yang aman.