Kegagalan pengesahan RUU Perampasan Aset menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen pemerintah dan DPR RI dalam memberantas korupsi.
BACA JUGA:Herman Deru : Terima Kasih Pak Presiden, Stadion Bumi Sriwijaya Menjadi Remaja Kembali !
BACA JUGA:Tol Palembang-Betung Beroperasi Fungsional H-7 Lebaran 2025
Publik mendesak agar RUU ini segera disahkan sebagai langkah nyata dalam upaya pemberantasan korupsi.
Namun, proses legislasi yang berlarut-larut dan kurangnya prioritas terhadap RUU ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan korupsi masih menghadapi tantangan besar.
Terkait kondisi ini, Pemerhati Sosial dan Politik, Hamidi SIP menegaskan, bahwa Undang-Undang (UU) Perampasan Aset harus segera disahkan agar dapat memberikan efek jera terhadap aksi korupsi yang merajalela di Indonesia.
Menurutnya, lambannya proses pembahasan di DPR RI menunjukkan adanya indikasi keengganan dari para wakil rakyat untuk mengesahkan aturan tersebut.
"Sejak tahun 2008, wacana tentang UU Perampasan Aset sudah bergulir, namun selalu gagal dibahas di DPR RI. Ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah ada kepentingan tertentu yang menghambatnya? Jika memang ada keengganan, kita bisa menduga bahwa DPR RI telah menjadi sarang koruptor," ujar Hamidi, Kamis (20/3).
Dikatakan Hamidi, sejak lebih dari satu dekade lalu, UU Perampasan Aset terus menjadi perdebatan tanpa kejelasan.
Regulasi ini bertujuan untuk memudahkan negara dalam menyita aset hasil tindak pidana korupsi, bahkan tanpa perlu menunggu vonis pidana terlebih dahulu.
Namun, berbagai upaya untuk memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) selalu menemui jalan buntu.
Hamidi menilai, penundaan ini menjadi indikasi kuat bahwa banyak pihak berkepentingan yang tidak ingin aturan tersebut berlaku.
"Logikanya sederhana, jika anggota DPR benar-benar bersih dan berpihak pada kepentingan rakyat, seharusnya mereka bergegas mengesahkan UU ini. Namun yang terjadi justru sebaliknya, ada tarik-ulur yang berkepanjangan," tambahnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia terus menghadapi skandal korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi negara, termasuk kasus korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Tanpa UU Perampasan Aset, upaya pengembalian kerugian negara menjadi lebih sulit karena hukum yang berlaku saat ini mengandalkan proses hukum pidana yang panjang.
"Negara kita tidak kekurangan kasus korupsi yang bisa dijadikan alasan kuat untuk segera mengesahkan UU ini. Lihat saja kasus korupsi di kementerian, di BUMN, dan berbagai lembaga negara lainnya. Jika aset para pelaku bisa langsung disita, maka uang negara bisa segera kembali," tegas Hamidi.