Jika terbukti bersalah, ketiga tersangka terancam hukuman penjara hingga 20 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
Menurut penyelidikan awal, uang yang disita berasal dari permintaan langsung Rohidin kepada bawahannya.
Modusnya adalah mengarahkan kepala dinas dan biro di Bengkulu untuk menyetorkan dana dari anggaran instansi masing-masing.
Beberapa dana tersebut diperoleh melalui:
1. Pemotongan anggaran operasional, seperti ATK dan perjalanan dinas.
2. Pemerasan terhadap kepala dinas agar tetap mempertahankan posisi mereka.
3. Penarikan dana dari proyek-proyek di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu.
KPK menduga dana yang terkumpul tersebut digunakan untuk membiayai kampanye Rohidin pada Pilkada Serentak 2024.
OTT yang dilakukan KPK ini menuai apresiasi dari berbagai pihak sebagai langkah preventif untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan di tahun politik.
Menurut Alexander Marwata, penangkapan ini menunjukkan bahwa korupsi di tingkat daerah masih menjadi masalah serius, terutama menjelang pemilihan umum.
"KPK berkomitmen untuk terus mengawasi dan menindak setiap upaya penyalahgunaan wewenang, terlebih jika dilakukan oleh kepala daerah," tegasnya.
Kasus ini menimbulkan gelombang kekecewaan di masyarakat Bengkulu.
Sejumlah warga menyuarakan kemarahan mereka terhadap tindakan Gubernur Rohidin yang dianggap mencoreng nama baik daerah.
"Kami tidak menyangka seorang gubernur yang seharusnya menjadi panutan justru terlibat dalam kasus korupsi. Ini sungguh memalukan," ujar seorang warga Bengkulu yang enggan disebutkan namanya.
Sementara itu, organisasi masyarakat sipil menyerukan agar penegakan hukum terus diperkuat untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa mendatang.
KPK memastikan akan terus mendalami kasus ini, termasuk memeriksa aliran dana dan kemungkinan keterlibatan pihak lain.