Pada Agustus 2024, inflasi umum Indonesia tercatat menurun sedikit menjadi 2,12 persen year on year (yoy) dari 2,13 persen pada Juli 2024.
Penurunan ini didorong oleh harga pangan yang lebih terkendali.
Sementara itu, inflasi inti, yang mencerminkan harga barang dan jasa selain pangan dan energi, justru mengalami kenaikan tipis menjadi 2,02 persen (yoy).
Kenaikan ini dipicu oleh harga emas perhiasan, kopi, dan biaya pendidikan.
Seiring dengan tren inflasi yang moderat, nilai tukar rupiah juga mengalami penguatan signifikan.
Pada pertengahan September 2024, rupiah menguat hingga mencapai Rp15.395 per dolar AS.
Penguatan ini didorong oleh arus modal asing yang terus mengalir masuk ke pasar keuangan Indonesia, dengan cadangan devisa mencatat rekor tertinggi sebesar 150,2 miliar dolar AS.
Aliran modal asing yang kuat serta penguatan mata uang menunjukkan kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi Indonesia, terutama di tengah ekspektasi pemotongan suku bunga acuan oleh The Fed.
Namun, menurut Riefky, penguatan ini justru menjadi alasan bagi BI untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait suku bunga.
Sejak awal Agustus 2024, tren aliran modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia, terus menguat.
Dalam periode 15 Agustus hingga 11 September 2024 saja, Indonesia mencatat peningkatan arus modal masuk sebesar 3,37 miliar dolar AS.
Kondisi ini mendorong penguatan rupiah sebesar 2,75 persen dalam sebulan terakhir.
Namun, di balik tren positif ini, risiko arus modal keluar secara mendadak tetap menjadi perhatian utama.
Kondisi global yang dinamis, terutama terkait kebijakan moneter di Amerika Serikat, bisa memicu perubahan arus modal sewaktu-waktu.