Hal ini dapat mengakibatkan kenaikan harga produk jadi yang dijual di pasar domestik.
Di sisi lain, pelemahan rupiah juga memberikan dampak positif bagi eksportir.
Dengan nilai tukar yang lebih rendah, produk-produk Indonesia menjadi lebih kompetitif di pasar internasional karena harganya menjadi lebih murah dalam mata uang asing.
Sektor-sektor seperti manufaktur, agribisnis, dan komoditas yang berorientasi ekspor dapat merasakan manfaat dari kondisi ini.
Namun, keuntungan ini mungkin tidak langsung dirasakan karena perusahaan perlu waktu untuk menyesuaikan strategi mereka dan mengoptimalkan produksi.
Selain itu, dampak pelemahan rupiah terhadap beban utang pemerintah juga perlu diperhatikan.
Sebagian besar utang pemerintah Indonesia berdenominasi dalam mata uang asing, terutama dolar AS.
Dengan nilai tukar rupiah yang melemah, beban pembayaran utang dalam rupiah otomatis meningkat.
Ini bisa menambah tekanan pada anggaran negara, terutama dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang luar negeri.
Bank Indonesia (BI) tentunya tidak tinggal diam dalam menghadapi pelemahan rupiah ini.
Sebagai otoritas moneter, BI memiliki beberapa instrumen untuk menjaga stabilitas nilai tukar, termasuk intervensi di pasar valuta asing dan penyesuaian suku bunga acuan.
BI dapat melakukan intervensi dengan menjual cadangan devisa untuk menstabilkan rupiah, atau menaikkan suku bunga acuan untuk menahan arus keluar modal yang dapat memperburuk pelemahan nilai tukar.
Namun, langkah-langkah ini tidak tanpa risiko.
Penjualan cadangan devisa secara berlebihan dapat menggerus cadangan yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan yang lebih mendesak.
Sementara itu, kenaikan suku bunga acuan bisa berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi domestik, karena biaya pinjaman akan meningkat, yang pada akhirnya dapat menekan investasi dan konsumsi domestik.
Selain faktor ekonomi, stabilitas politik juga memainkan peran penting dalam menjaga nilai tukar rupiah.