Whoosh di Persimpangan : Cepat di Rel, Berat di Neraca !

Whoosh di Persimpangan : Cepat di Rel, Berat di Neraca !-Foto : Istimewa-
KORANPALPOS.COM – Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung, atau yang dikenal publik dengan nama Whoosh (Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat) sejak awal diiringi ambisi besar: mewujudkan efisiensi waktu tempuh dari sekitar 3 jam menuju kurang dari 1 jam, meningkatkan konektivitas, dan menjadi simbol lompatan transportasi modern Indonesia.
Banyak pihak yang menyebutnya sebagai tonggak sejarah baru transportasi di Indonesia yang mulai masuk ke dalam fase moda transportasi modern, serta menjadi simbol kesejajaran dengan negara maju, terutama dalam hal mewujudkan moda mobilitas berkecepatan tinggi.
Whoosh lahir dari kolaborasi dua raksasa ekonomi Asia: Indonesia dan Tiongkok, dalam proyek yang sejak awal diimpikan akan menjadi cikal bakal revolusi infrastruktur transportasi modern di negeri ini.
BACA JUGA: Legalitas Sumur Minyak Rakyat: Babak Baru Energi Mandiri di Sumsel
Di balik euforia kebanggaan atas lahirnya kereta cepat pertama di Asia Tenggara, terselip kenyataan bahwa perjalanan Whoosh belum sepenuhnya mulus.
Di antara deru lajunya, bayang-bayang beban utang masih membayangi neraca dan keuangan negara.
Proyek yang semula digadang-gadang tanpa jaminan fiskal, kini memunculkan pertanyaan baru: bagaimana memastikan keberlanjutannya, tanpa menjadi beban bagi APBN?
BACA JUGA:Jurnalisme Beretika Jadi Pilar Edukasi Publik: Kasus Trans7 dan Pelajaran dari Dunia Pesantren
BACA JUGA:DPR Anggap Kendala Program Makan Bergizi Gratis Sebagai Hal Wajar
Di sinilah urgensi itu muncul bahwa kebanggaan infrastruktur modern harus diimbangi dengan kecerdasan finansial dan keberanian mencari jalan keluar kreatif.
Bukan untuk menyesali keputusan masa lalu, tetapi untuk memastikan agar investasi besar ini benar-benar memberi nilai tambah bagi perekonomian dan generasi mendatang.
Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung sejatinya dirancang dengan biaya awal sekitar US$6 miliar.
BACA JUGA:Keterbukaan Informasi Publik Jadi Pilar Ketahanan Nasional di Era Disrupsi Teknologi