Jejak Sejarah dan Asal Usul Suku Semende di Sumatera Selatan : Siapa Syech Nurqodim al-Baharudin ?

Rabu 05 Jun 2024 - 12:23 WIB
Reporter : Echi
Editor : Zen Kito

Dengan menggunakan metode yang sangat sederhana dan mempergunakan kultur budaya masyarakat setempat, beliau berhasil menyebarkan ajaran Islam sehingga dapat dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat.

Syech Nurqodim al-Baharudin dikenal sebagai penyebar agama Islam yang sangat kharismatik di kalangan suku-suku di pedalaman Sumatera Bagian Selatan.

Nama beliau menjadi legenda dari generasi ke generasi, terutama karena sikapnya yang menunjukkan rasa peduli dan kasih sayang yang sangat tinggi terhadap semua makhluk ciptaan Allah.

Di Tanah Besemah, Puyang Awak (Syech Nurqodim) menyaksikan pola hidup masyarakat yang sangat jauh dari kehidupan Islami.

Praktek-praktek perbudakan, perampokan, dan penculikan masih sering terjadi. Misalnya, penculikan terhadap wanita dan anak-anak dari suku-suku lain di sekitar Basemah, yang dalam bahasa setempat disebut 'nampu', dilakukan untuk dijadikan budak ('pacal').

Bahkan, beberapa keluarga besar memiliki ratusan ekor kerbau dan sapi serta puluhan orang pacal.

Ketika mengadakan pesta besar-besaran, mereka menyembelih puluhan ekor sapi dan kerbau serta mengumumkan akan menyembelih seorang pacal, sebuah bentuk kedzaliman yang melebihi perbuatan kaum jahiliyah Suku Quraisy di Mekkah pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Puyang Awak, yang memperhatikan kehidupan suku Basemah yang liar dan tanpa hukum tersebut, berpendapat bahwa Tanah Besemah adalah tempat yang tepat untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an.

Metode yang dipergunakannya sangat sederhana dan tidak menggunakan bahasa Arab, melainkan dirumuskan dalam bahasa Pasemah yang dikenal dengan falsafah 'GANTI nga TUNGGUAN' (Akhlakul Karimah).

Menurut buku "Kisah Walisongo" karya Baidhowi Syamsuri, dua orang putra Prabu Siliwangi bernama Pangeran Walang Sungsang dan Putri Rara Santang belajar Dinul Islam kepada Syaikh Idlofo Mahdi atau Syaikh Dzathul Kahfi, seorang ulama dari Baghdad yang menetap di Cirebon dan mendirikan Perguruan Islam.

Setelah cukup lama menuntut ilmu, keduanya diperintahkan untuk membuka hutan di selatan Gunung Jati, yang kemudian menjadi pedukuhan dan dinamakan "Tegal Alang-Alang".

Pangeran Walang Sungsang diberi gelar "Pangeran Cakra Buana" dan diangkat sebagai pimpinannya.

Syaikh Kahfi memerintahkan keduanya untuk menunaikan haji ke Mekkah dan belajar Islam kepada Syaikh Bayanillah.

Rara Santang kemudian menikah dengan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, seorang penguasa Mesir keturunan Bani Hasyim.

Dari pernikahan ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Hidayatullah, yang tidak suka naik takhta, kembali ke tanah Jawa bersama ibunya untuk mendakwahkan Islam dan dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke Cina, membuka praktek pengobatan, dan berhasil menyebarkan Islam di sana, termasuk menikahi putri Kaisar Cina, Ong Tien.

Kategori :