Fadhil menjelaskan salah satu tantangan utama Indonesia saat ini adalah ketergantungan yang masih tinggi terhadap impor energi fosil.
Proyek DME di Kutai Timur dirancang sebagai solusi konversi LPG demi meningkatkan kemandirian energi. Pemerintah menargetkan substitusi 100 persen LPG ke DME dapat tercapai pada tahun 2040.
Proyek ini menjadi bagian penting dari transformasi ekonomi Kalimantan Timur, yang saat ini memproduksi 42,8 persen batu bara nasional.
Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dan Ketahanan Energi telah mengidentifikasi proyek DME sebagai salah satu dari 18 proyek prioritas nasional.
Nilai investasi proyek konversi LPG ke DME tersebut diperkirakan mencapai 10,25 miliar dolar AS, atau setara Rp164 triliun.
"Proyek ini diproyeksikan menyerap total 34.800 tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung," sebut Fadhil.
Selain DME, strategi hilirisasi batu bara juga diarahkan untuk memproduksi metanol.
Metanol tersebut nantinya dapat diproses lebih lanjut menjadi biodiesel. Hilirisasi batu bara juga didorong untuk menghasilkan grafit sintetik.
"Grafit sintetik merupakan komponen penting yang dibutuhkan untuk produksi baterai kendaraan listrik (EV)," jelas Fadhil.
Sementara itu, batu bara kalori rendah (lignit) yang cadangannya melimpah akan digunakan untuk produksi amonia.
Amonia hijau dikembangkan sebagai alternatif energi bersih dan berkelanjutan di masa depan.
"Proyek DME di Kutai Timur, bersama hilirisasi sawit di KEK Maloy, mencerminkan arah baru ekonomi Kaltim. Ekonomi Kaltim didorong beralih dari sekadar ekstraksi sumber daya alam menuju industri bernilai tambah," demikian Fadhil.
Terakhir, upaya memperkuat kemandirian pertahanan nasional menuntut sinergi nyata antara kebijakan pemerintah, kolaborasi industri, dan peran aktif akademisi dalam riset serta inovasi teknologi.
Hal itu menjadi pokok pembahasan dalam seminar bertema "Membangun Kemandirian Pertahanan Negara melalui Kebijakan, Interdependensi Industri Pertahanan, dan Peningkatan Peran Akademisi" di Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dalam forum tersebut, Pendiri Republikorp Norman Joesoef yang hadir sebagai pembicara kunci sebagaimana keterangan diterima di Jakarta menyatakan kemandirian pertahanan tidak hanya diukur dari kemampuan produksi alutsista, tetapi dari sejauh mana sebuah bangsa mampu menguasai teknologi, data, dan algoritma yang menjadi fondasi pertahanan masa depan.
Republikorp sendiri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertahanan dan teknologi strategis.