“Pesantren adalah benteng moral bangsa. Jangan jadikan pesantren bahan sensasi. Kalau ada kekeliruan individu, jangan digeneralisasi seolah pesantren tempat penyimpangan,” ujar salah satu alumni Lirboyo yang turut hadir dalam aksi.
Menanggapi gelombang kritik tersebut, Production Director Trans7, Andi Chairil, telah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka melalui video resmi yang diunggah di kanal YouTube Trans7 Official, Selasa (14/10).
Dalam video berdurasi tiga menit itu, pihak Trans7 menegaskan bahwa tidak ada unsur kesengajaan untuk menyinggung atau merendahkan lembaga pesantren maupun tokoh agama mana pun.
Tayangan “Xpose Uncensored” yang dipermasalahkan disebut murni sebagai bentuk liputan investigasi yang salah tafsir oleh sebagian penonton.
“Kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat, khususnya kalangan pesantren dan Nahdlatul Ulama. Kami akan melakukan evaluasi internal agar hal serupa tidak terulang kembali,” ujar Andi Chairil dalam pernyataan resminya.
Meski demikian, permintaan maaf itu belum sepenuhnya meredam kekecewaan publik, terutama dari komunitas pesantren.
Banyak pihak menilai pernyataan Trans7 masih terlalu normatif dan belum menyentuh substansi persoalan.
Sementara itu, di tingkat pusat, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU, Cholil Nafis, menyatakan bahwa pihaknya akan menempuh jalur hukum untuk memastikan tanggung jawab media terkait.
“Kami menghargai permintaan maaf Trans7, tetapi tetap akan mengkaji unsur pelanggaran hukum yang mungkin terjadi, baik dalam konteks penyiaran maupun pencemaran nama baik lembaga pendidikan Islam,” kata Cholil dalam keterangannya di Jakarta.
Ia juga menegaskan bahwa PBNU mendorong Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk melakukan penelusuran mendalam terhadap isi tayangan tersebut, apakah melanggar kode etik jurnalistik atau prinsip penyiaran yang berimbang.
Menjelang siang, massa aksi perlahan membubarkan diri dengan tertib.
Sebagian peserta menutup kegiatan dengan doa bersama dan pembacaan selawat.
Meski berlangsung damai, pesan moral dari aksi ini tersampaikan jelas: pesantren bukan objek lelucon atau komoditas rating televisi.
Bagi kalangan santri dan alumni, pesantren adalah rumah spiritual, tempat menempa ilmu dan akhlak yang wajib dihormati.
“Ini bukan sekadar soal tayangan televisi,” ujar seorang peserta aksi dari Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta.
“Ini soal bagaimana bangsa menghargai warisan ulama dan pendidikan Islam yang telah menjaga moral generasi muda selama ratusan tahun.”