Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, terdapat 29,21 persen anak dari total 30,2 juta anak yang tidak melanjutkan pendidikan karena berbagai hambatan, terutama faktor ekonomi.
"Kami percaya bahwa dengan diterapkannya putusan ini, angka anak tidak sekolah akan menurun signifikan," katanya.
Menurut dia, putusan MK ini peluang besar untuk memperkuat ekosistem pendidikan yang ramah anak, inklusif, dan bebas biaya pada tahap paling dasar.
"Negara harus hadir secara nyata, bukan hanya di atas kertas," kata Aris Adi Leksono.
Sementara itu, Pengamat Sosial dan Politik, Hamidi SIP menilai bahwa keputusan MK harus dipahami secara komprehensif dan tidak serta-merta diterapkan tanpa mempertimbangkan kesiapan pemerintah dan kondisi faktual di lapangan.
“Prinsip pendidikan gratis itu sangat mulia dan merupakan amanat konstitusi. Namun, implementasinya harus realistis. Sekolah negeri saja masih banyak menghadapi persoalan, apalagi jika mencakup sekolah swasta,” ujarnya.
Hamidi menyatakan, pada kenyataannya saat ini masih banyak sekolah negeri yang menghadapi berbagai kendala mulai dari kekurangan fasilitas, infrastruktur yang tidak memadai, hingga masih maraknya pungutan liar dengan dalih kebutuhan operasional yang tidak tercakup dalam dana BOS.
“Seringkali sekolah disebut gratis, tapi praktik di lapangan masih ada iuran ini-itu. Itu menunjukkan bahwa sistem penganggaran belum ideal. Pemerintah pusat dan daerah perlu mengevaluasi tata kelola keuangan pendidikan terlebih dahulu sebelum memperluas cakupan ke sekolah swasta,” tegasnya.
Terkait sekolah swasta, Hamidi menegaskan bahwa penerapan pendidikan gratis tidak bisa diberlakukan secara merata.
Ia menyarankan agar dilakukan pendataan dan klasifikasi terhadap sekolah swasta, terutama dari sisi karakteristik siswa dan status lembaganya.
“Tidak semua sekolah swasta layak masuk program ini. Ada sekolah swasta elite yang biaya masuknya puluhan juta rupiah dan dihuni oleh anak-anak dari kalangan berada. Sekolah seperti itu tentu tidak bisa disubsidi oleh negara. Tapi ada juga sekolah swasta kecil, berbasis yayasan sosial, yang justru menjadi alternatif bagi siswa dari keluarga miskin yang tidak bisa masuk sekolah negeri karena berbagai kendala,” jelas Hamidi.
Ia juga menyoroti fakta di lapangan bahwa proses masuk sekolah negeri masih menyisakan persoalan, mulai dari sistem zonasi yang belum merata hingga dugaan praktik pungutan tak resmi dalam proses penerimaan siswa baru.
Akibatnya, anak-anak dari keluarga tidak mampu kerap tersingkir dan akhirnya memilih sekolah swasta yang sederhana sebagai pilihan terakhir.
“Justru di titik inilah negara harus hadir. Pemerintah bisa menanggung biaya pendidikan di sekolah swasta non-komersial yang menampung anak-anak kurang mampu. Tapi harus ada mekanisme verifikasi yang jelas agar subsidi tepat sasaran,” tambahnya.
Lebih lanjut, Hamidi menegaskan bahwa keputusan MK tersebut kini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk diterjemahkan ke dalam kebijakan teknis dan regulasi yang implementatif.
Menurutnya, tanpa payung hukum yang rinci, keputusan ini hanya akan menjadi beban baru bagi pemerintah daerah dan kepala sekolah.