Kebutuhan pendampingan bagi jamaah disabilitas bisu-tuli, jamaah dengan gangguan mental, ataupun tuna netra, masih jauh dari memadai.
Idealnya petugas haji yang direkrut untuk kebutuhan para difabel memahami dan terlatih untuk melayani mereka sesuai dengan tingkat disabilitasnya.
Seharusnya juga, petugas haji yang mendampingi jamaah tuna rungu, dapat memahami bahasa isyarat dengan tingkat yang memadai.
Demikian juga petugas untuk jamaah dengan kesehatan mental, mereka harus bisa menjadi pendamping yang baik dan menenangkan, ketika jamaah dengan disabilitas mental mengalami serangan panik.
Para petugas haji pendamping bukan hanya perlu ketahanan fisik untuk siap melayani, tapi mereka juga harus siap secara mental untuk melayani para disabilitas.
Keterampilan mereka dalam pendampingan dan perspektif disabilitas ini yang belum dipenuhi pemerintah.
Pelibatan Komisi Nasional Disabilitas (KND) dalam penyelenggaraan haji kali ini sangat diapresiasi, karena ia dapat memberikan edukasi kepada para petugas terkait pelayanan disabilitas, dengan spektrum disabilitas yang beragam.
Kehadiran petugas haji dari kelompok disabilitas sebagai bagian PPIH 2025, seperti Dante dan Deka Kurniawan diharapkan dapat memberikan perspektif kepada petugas terkait pelayanan bagi disabilitas.
Muchlis Hanafi juga sangat mengharapkan kehadiran KND dapat memperkuat inklusifitas layanan haji Indonesia yang ramah lansia dan disabilitas.
Upaya signifikan dalam mewujudkan haji ramah disabilitas dan lansia adalah dengan penerapan skema Murur, Safari Wukuf, dan Tanazul dalam pelaksanaan puncak haji bagi jamaah haji yang sakit, lansia, dan difabel.
Murur merupakan inovasi pergerakan jamaah saat puncak ibadah haji, di mana jamaah yang memiliki keterbatasan fisik, setelah wukuf di Arafah selesai langsung diangkut menuju Mina, tanpa harus mabit atau bermalam di Muzdalifah.
Skema tanazul juga merupakan upaya meningkatkan kenyamanan jamaah, di mana jamaah haji tidak perlu harus menginap di tenda-tenda di Mina, melainkan dapat tinggal di hotel dekat jamarat, atau area melempar jumrah. Hal ini dilakukan demi mengurangi kepadatan saat mabit di Mina.
Sedangkan safari wukuf, adalah upaya memperjalankan jamaah yang sedang sakit agar tetap bisa melaksanakan wukuf di Arafah dengan mengangkutnya di dalam ambulans yang dilengkapi peralatan medis.
Penerapan skema tersebut tentu saja akan memudahkan para lansia, difabel, dan jamaah yang sakit dapat berhaji meskipun dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada.
Tentu masih banyak ekspektasi yang diharapkan komunitas disabilitas dalam mewujudkan penyelenggaraan haji yang lebih inklusif dan ramah difabel, bukan saja penyiapan layanan yang bersifat fisik, tapi juga penyiapan sumber daya manusia petugas dan penyelenggara haji yang selaras kebutuhan jamaah disabilitas.
Masih perlu lebih banyak ikhtiar dari pemerintah agar para penyandang disabilitas mendapatkan hak-hak beribadah dengan baik. (ant)