KORANPALPOS.COM – Haji merupakan ibadah dengan penyelenggaraan paling rumit di dunia.
Ia dilaksanakan dalam ruang terbatas dan waktu yang sempit.
Di saat yang sama, ibadah ini melibatkan jutaan manusia yang datang dari seluruh penjuru dunia.
Tahun 2025 diperkirakan lebih dari 1,83 juta muslim akan berkumpul dan bergerak dalam waktu yang sama di Masjidil Haram, Arafah, Muzdalifah dan Mina, Kota Makkah, Arab Saudi, untuk menjalankan rukun dan wajib haji.
BACA JUGA:Gempa Magnitudo 6,3 Guncang Bengkulu: 100 Rumah Rusak, Warga Diminta Waspada !
BACA JUGA:Gubernur Herman Deru Tegaskan Komitmen Sumsel Dukung Ketahanan Pangan Lewat Cetak Sawah
Masalahnya, rukun dan wajib haji baru dinyatakan sah, jika dan hanya jika dilakukan di tempat-tempat tertentu. Thawaf mengitari Kakbah sah jika dilakukan di Masjid Haram.
Wukuf hanya dapat dilakukan di Arafah, pada 9 Dzulhijah dari tergelincir matahari hingga terbenam matahari. Sai harus dilakukan di lintasan bukit Sofa dan Marwa.
Sementara wajib haji, seperti bermalam di Muzdalifah, mabit di Mina, serta melempar jumrah harus dilaksanakan secara simultan pada 10 Dzulhijah dan hari tasyrik, yakni tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijah, juga di area yang terbatas.
Secara keseluruhan ritual haji harus dilakukan dalam waktu kurang dari seminggu.
BACA JUGA:Pemprov Sumsel Dorong Inovasi Pariwisata Berdaya Saing
BACA JUGA:Potensi Karhutla Makin Rawan, Sumsel Status Siaga
Inilah yang membuat ritual haji sangat menguras tenaga dan emosi para jamaah.
Dengan kompleksitas itu, manajemen penyelenggaraan haji menjadi sangat rumit dan membutuhkan kerja dengan ketelitian dan presisi yang tinggi.
Semua negara yang terlibat dalam pelaksanaan haji, baik pemerintah Arab Saudi maupun negara-negara yang memberangkatkan jamaahnya ke Tanah Suci, akan menghadapi tantangan yang berat.