Tak heran, kue ini selalu hadir dalam berbagai acara adat sebagai simbol doa dan harapan baik.
Menurut antropolog kuliner, Dr. Rina Kusumawati, keberadaan kue cincin dalam budaya Betawi mencerminkan nilai gotong royong yang tinggi.
"Dulu, pembuatan kue cincin melibatkan banyak orang, mulai dari memarut kelapa, mencetak adonan, hingga menggoreng. Proses ini menjadi momen kebersamaan yang mempererat hubungan antarwarga," jelasnya.
Meski masih eksis, keberlangsungan kue cincin menghadapi tantangan, terutama dari sisi regenerasi pembuat.
Banyak generasi muda yang kurang tertarik untuk meneruskan usaha kue tradisional karena dianggap kurang menguntungkan dan memakan waktu.
Selain itu, persaingan dengan makanan modern juga menjadi tantangan tersendiri.
Namun, peluang untuk melestarikan kue cincin tetap terbuka lebar.
Dengan dukungan teknologi dan media sosial, promosi kue cincin dapat dilakukan dengan lebih luas dan menarik.
Beberapa komunitas kuliner juga mulai mengadakan workshop pembuatan kue cincin untuk memperkenalkan kue ini kepada generasi muda.
Kue cincin bukan sekadar camilan manis, melainkan warisan budaya yang mencerminkan sejarah, tradisi, dan nilai kebersamaan masyarakat Betawi.
Keberadaan kue ini di tengah arus modernitas menunjukkan bahwa makanan tradisional tetap memiliki tempat istimewa di hati masyarakat.
Dengan upaya pelestarian yang terus dilakukan, diharapkan kue cincin tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kuliner Indonesia.*