Tidak hanya kasus atas temuan dugaan politik uang dan upaya yang dilakukan atas kasus tersebut, sebuah survei juga ada yang menunjukkan bahwa Pilkada 2024 dibayang-bayangi dengan praktik politik uang.
Survei dari Skala Institute bersama Ragaplasma Research, misalnya, pada tanggal 1--7 Oktober lalu, melakukan survei terhadap 400 responden dengan metode multistage sampling atau sampel bertingkat, dengan margin of error 5 persen, di enam kabupaten/kota di Jawa Barat, yakni di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Majalengka, Kota Cirebon, dan Kota Bandung.
Hasil survei itu menunjukkan responden yang menjadi pemilih paling banyak tergiur politik uang yang kemudian mengubah pilihan suara adalah di Kabupaten Bekasi, yakni sebesar 45,38 persen.
Sementara untuk daerah lain masih di bawah Kabupaten Bekasi.
Padahal dari survei itu terdapat gambaran bahwa 58 persen responden berpendidikan SMA dan 22,5 persen lulusan perguruan tinggi; lalu sebanyak 38,25 persen berpenghasilan menengah atas dan 32 persen berpenghasilan rendah.
Meskipun dari survei menunjukkan bahwa salah satu dari tiga pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Bekasi meraih elektabilitas sekitar 40 persen, responden menjawab dapat dengan mudah mengubah pilihan akibat beberapa hal dan yang tertinggi adalah faktor pemberian uang, barang, maupun jasa.
Perubahan itu dapat terjadi pada seminggu terakhir hingga hari H pencoblosan.
UU Pilkada telah mengamanahkan bahawa calon kepala daerah yang terbukti memberikan uang untuk memengaruhi penyelenggara maupun pemilih, dapat digugurkan pencalonannya jika sudah ada keputusan dari Bawaslu.
Pasal 73 ayat (1) menyebutkan, calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih; ayat (2) berbunyi calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.
Seperti halnya hasil penetapan KPU RI tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sempat disengketakan, hasil pilkada juga sangat dimungkinkan terjadi sengketa pemilu.
Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi RI dalam raker dengan Komisi III DPR RI pada 4 September lalu memperkirakan terdapat 324 perkara sengketa pemilu atau sekitar 59,45 persen dari 545 daerah yang menggelar pilkada.
Perkiraan tersebut dengan berkaca pada pengalaman menangani sengketa pilkada pada tahun 2017, di mana terdapat 60 perkara atau 59,41 persen dari 101 daerah yang menggelar pilkada saat itu.
Itu persentase sengketa pilkada paling tinggi yang pernah dialami.
Sementara sengketa pilkada tahun 2016 terdapat 152 perkara atau 55,51 persen dari 269 daerah yang menggelar pilkada pada tahun itu.
Pilkada 2018, terdapat sebanyak 70 perkara atau 42,11 persen dari 171 daerah yang menggelar pilkada dan pada tahun 2021, sebanyak 151 perkara atau 55,93 persen dari 270 daerah.
Untuk mengantisipasi terjadinya sengketa pilkada, Mahkamah Konstitusi RI telah membuat sejumlah Peraturan Mahkamah Konstitusi, yakni Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2024 tentang Tata Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota; dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2024 tentang Tahapan Kegiatan dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.