Bahkan secara seragam di tiap provinsi dan kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada, KPU mewajibkan setiap pasangan peserta pemilu, baik dari calon independen maupun calon yang diusung partai politik, setelah ditetapkan dan menjelang dimulainya masa kampanye, mereka bersama-sama membacakan ikrar atau deklarasi pemilu damai.
Deklarasi pemilu damai berisi empat butir, yakni pertama, akan melaksanakan Pemilu 2024 yang damai dan kondusif untuk mewujudkan demokrasi yang bermartabat.
Kedua, akan mematuhi dan mentaati segala bentuk dan ketentuan yang berlaku serta menyelesaikan permasalahan pemilu tahun 2024 sesuai dengan koridor hukum.
Ketiga, menolak upaya yang dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat dan menghindari kegiatan yang bersifat provokatif, menghasut, ujaran kebencian serta tidak menggunakan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Keempat menciptakan situasi dan kondisi tetap kondusif.
Tahun 2024 menjadi ujian besar bagi stabilitas politik di Indonesia, dengan akhir masa jabatan para gubernur, bupati, dan wali kota bertepatan dengan tahapan pemilu dan pilkada.
Meskipun pilkada sejauh ini berjalan lancar, bukan berarti terbebas dari sejumlah ancaman yang bisa saja menjadi potensi kerawanan, bila tak diantisipasi sedini mungkin untuk pencegahan.
Sebut saja, persoalan klasik, yang selalu dituduhkan menjadi ancaman adalah soal politik uang dan netralitas aparatur sipil negara (ASN), termasuk kepala desa, aparat TNI/Polri, dan pegawai BUMN/BUMD.
Upaya pencegahan yang patut diapresiasi, misalnya, ketika Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Semarang, Jawa Tengah, pada 23 Oktober lalu menggerebek dan membubarkan pertemuan paguyuban para kepala desa se-Jawa Tengah di sebuah hotel yang diindikasikan mendukung untuk salah satu pasangan gubernur dan wakil gubernur tertentu. Para kepala desa itu bahkan membawa slogan "Satu Komando Bersama Sampai Akhir".
Ketua Bawaslu RI Rachmat Bagja dalam konferensi pers pada 28 Oktober lalu menyebutkan bahwa sebanyak 195 kasus dugaan pelanggaran netralitas kepala desa selama kampanye, sejak 25 September lalu, tersebar di 25 provinsi.
Sampai dengan saat konferensi pers itu, dari 195 kasus pelanggaran netralitas kepala desa, terdapat 59 temuan dari Bawaslu dan 136 kasus dari laporan masyarakat.
Dari jumlah tersebut, 130 kasus diregister, 55 tidak diregister, dan 10 kasus belum diregister.
Dari 130 kasus yang diregister, terdapat 12 perkara merupakan tindak pidana pelanggaran pemilu, 97 kasus pelanggaran peraturan perundang-undangan, dan 42 kasus bukan pelanggaran.
Pasal 70 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang atau lazim disebut UU Pilkada menyebutkan bahwa selama masa kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan kepala desa atau lurah dan perangkat desa maupun perangkat kelurahan.
Sementara soal dugaan politik uang, telah ada laporan masyarakat, yang dirapat-plenokan oleh Bawaslu Provinsi Bengkulu bersama Penegak Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri atas unsur kepolisian dan kejaksaan, mengenai salah satu calon Gubernur Bengkulu yang tertangkap kamera membagi-bagikan uang kepada para pedagang di Kabupaten Kaur dan memberikan uang saweran pada acara hajatan.
Bawaslu sempat memanggil dan meminta keterangan dari terlapor, yakni calon gubernur yang juga petahana, pada 24 Oktober lalu.
Kasus ini masih berproses, terlapor akan meneruskan pula penanganan kasus itu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.