Kasus yang menyeret nama Tom Lembong berawal dari pemberian izin impor gula kristal mentah (GKM) kepada PT AP untuk mengolahnya menjadi gula kristal putih (GKP) sebanyak 105.000 ton.
Padahal, hasil rapat koordinasi antar-kementerian pada 12 Mei 2015 menyatakan bahwa Indonesia dalam keadaan surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor gula.
Dalam perkembangan kasus ini, Kejagung juga menetapkan Charles Sitorus, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) periode 2015-2016, sebagai tersangka.
Charles diduga turut serta dalam memberikan persetujuan terhadap izin impor gula yang tidak sesuai dengan kebutuhan dalam negeri.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa (29/10), menegaskan bahwa penetapan tersangka pada Tom Lembong tidak didasari oleh kepentingan politik.
Ia menegaskan bahwa penyidik memiliki bukti yang cukup untuk menetapkan Lembong sebagai tersangka.
“Tidak peduli siapa pun pelakunya. Ketika ditemukan bukti yang cukup, penyidik pasti akan menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka,” kata Abdul Qohar.
Kejagung, lanjutnya, berkomitmen untuk tetap independen dalam menangani kasus ini dan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil didasarkan pada bukti yang ada.
Kebijakan impor pangan yang tidak tepat dapat berdampak serius terhadap ketahanan pangan dan ekonomi lokal.
Dalam kasus gula, misalnya, impor yang tidak terkontrol berpotensi menekan harga gula lokal, sehingga merugikan petani tebu di dalam negeri.
Kebijakan impor yang serampangan juga dapat merusak stabilitas harga pangan lainnya, seperti beras dan garam, yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat.
Seiring dengan ditetapkannya Lembong sebagai tersangka, pengamat lain turut menyoroti pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola impor.
Diharapkan, Kejagung bisa segera mengungkap pihak-pihak yang selama ini terlibat dalam praktik impor yang berpotensi merugikan negara.
Kasus ini membuka kembali diskusi tentang urgensi pembenahan kebijakan impor yang transparan dan berorientasi pada kepentingan nasional.
Langkah untuk memperbaiki regulasi, pengawasan, dan koordinasi antar-kementerian sangat diperlukan agar kebijakan impor yang diambil benar-benar berlandaskan data kebutuhan domestik.
Para pengamat berharap Kejagung dapat terus mengusut tuntas kasus-kasus yang melibatkan berbagai pihak dalam tata kelola impor.