Batu bara yang dihasilkan dari Tanjung Enim diekspor ke berbagai negara dan menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintah kolonial Belanda.
Selain itu, batu bara juga digunakan untuk mendukung berbagai proyek infrastruktur di Hindia Belanda, termasuk kereta api dan pembangkit listrik.
Keberadaan industri pertambangan batu bara di Tanjung Enim juga mendorong berkembangnya infrastruktur lainnya, seperti jalan raya, stasiun kereta, dan fasilitas pendidikan serta kesehatan bagi para pekerja tambang dan keluarganya.
Tanjung Enim pada masa itu menjadi salah satu kota paling maju di wilayah Sumatera Selatan.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, banyak aset yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda, termasuk tambang batu bara di Tanjung Enim, diambil alih oleh pemerintah Indonesia.
Pada tahun 1950, pemerintah Indonesia mendirikan Perusahaan Negara Tambang Arang (PNTA) untuk mengelola tambang batu bara di wilayah tersebut.
Ini menandai awal dari era baru bagi industri pertambangan di Tanjung Enim, di mana kepemilikan dan kendali tambang berada di tangan pemerintah Indonesia.
Pada tahun 1960, PNTA berganti nama menjadi PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA), yang masih beroperasi hingga hari ini.
PTBA telah berkembang menjadi salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia dan memainkan peran penting dalam ekonomi nasional, terutama dalam hal penyediaan energi bagi industri-industri dalam negeri dan ekspor ke luar negeri.
Kota ini tidak hanya menawarkan sejarah yang menarik, tetapi juga keindahan alam yang menakjubkan, seperti Sungai Enim dan air terjun Napal Carik, yang masih menjadi daya tarik wisata.
Melalui pelestarian sejarah dan tradisi, Tanjung Enim akan terus menjadi simbol dari kekayaan budaya dan warisan masa lalu yang patut dirawat dan dijaga untuk masa depan.