Mencatat peristiwa dan kehidupan masa lalu bukan hanya sekedar mengenang sejarah, tetapi juga menjaga agar identitas lokal tetap kuat di tengah arus modernisasi.
Sejak abad ke-19, Tanjung Enim telah menjadi salah satu pusat pertambangan batu bara yang paling penting di Indonesia, dan hingga saat ini masih menjadi tulang punggung ekonomi wilayah tersebut.
Sejarah Tanjung Enim sebagai kota pertambangan bermula pada tahun 1868 ketika seorang geologis Belanda bernama Dr. W.H. De Greve menemukan deposit batu bara yang melimpah di sekitar wilayah tersebut.
Penemuan ini menjadi titik balik bagi perkembangan ekonomi di kawasan ini.
Pada saat itu, Belanda sedang berusaha mencari sumber daya alam di wilayah Nusantara untuk mendukung industri mereka di Eropa.
Batu bara menjadi salah satu komoditas yang sangat diminati karena dapat digunakan sebagai sumber energi untuk mesin-mesin industri yang tengah berkembang pesat saat itu.
Penemuan batu bara di Tanjung Enim menjadi berita besar, dan pemerintah kolonial Belanda dengan cepat mengambil langkah-langkah untuk mengeksploitasi sumber daya ini.
Pada tahun 1892, sebuah perusahaan Belanda bernama NV. Maatschappij tot Exploitatie van Steenkolenmijnen (NV. Mijnen) didirikan untuk mengelola pertambangan batu bara di Tanjung Enim.
Ini menandai awal dari era pertambangan batu bara modern di wilayah tersebut.
Setelah pendirian NV. Mijnen, perusahaan tersebut mulai membangun infrastruktur tambang yang modern di Tanjung Enim.
Pembangunan ini mencakup pembangunan rel kereta api untuk mengangkut batu bara dari tambang ke pelabuhan terdekat, pembangunan fasilitas pengolahan, serta perumahan bagi para pekerja tambang.
Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengoperasikan tambang-tambang ini didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jawa dan Sumatra, serta beberapa pekerja dari luar negeri.
Industri tambang di Tanjung Enim tidak hanya menciptakan lapangan pekerjaan, tetapi juga menjadi pusat kegiatan ekonomi bagi wilayah sekitarnya.
Kota kecil ini menjadi pusat perdagangan dan jasa yang mendukung operasional tambang, dan penduduk lokal mulai bergantung pada industri ini untuk mencari nafkah.
Selama masa penjajahan Belanda, industri pertambangan batu bara di Tanjung Enim berkembang pesat.
Tambang-tambang baru terus dibuka, dan produksi batu bara meningkat secara signifikan.