Kebijakan moneter The Fed memiliki dampak langsung terhadap pergerakan kurs rupiah.
Dengan ekspektasi bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga acuan di level tinggi, dolar AS menjadi lebih menarik bagi investor.
Aliran modal pun cenderung berpindah ke AS, yang mendorong penguatan dolar dan melemahkan mata uang negara-negara berkembang.
BACA JUGA:Update ! Kurs Rupiah 3 September 2024 : Merosot 42 Poin Tersentuh Level Rp15.567 per Dolar AS
BACA JUGA:Update ! Kurs Rupiah 2 September 2024 : Melemah 65 Poin Menjadi Rp15.520 per Dolar AS
Di sisi lain, kebijakan moneter ketat ini berdampak pada tekanan likuiditas di pasar keuangan global.
Ketika suku bunga AS lebih tinggi, biaya pinjaman dalam dolar menjadi lebih mahal, yang mengurangi aliran modal ke negara-negara berkembang.
Hal ini juga memengaruhi nilai tukar rupiah, karena Indonesia sebagai negara dengan perekonomian yang terbuka terhadap investasi global, sangat dipengaruhi oleh pergerakan modal asing.
Di dalam negeri, pergerakan nilai tukar rupiah juga dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi domestik.
Salah satu faktor yang sering disebut adalah defisit neraca perdagangan.
Defisit ini terjadi ketika nilai impor lebih tinggi dari nilai ekspor, yang menyebabkan permintaan dolar AS meningkat untuk membayar barang dan jasa yang diimpor.
Pada saat yang sama, pasokan dolar dari hasil ekspor tidak cukup untuk menutupi kebutuhan impor, yang menyebabkan tekanan terhadap rupiah.
Selain itu, inflasi dalam negeri juga menjadi perhatian.
Meski inflasi Indonesia masih terkendali, namun adanya kenaikan harga komoditas dan bahan bakar di pasar global dapat memicu peningkatan inflasi.
Inflasi yang tinggi akan melemahkan daya beli masyarakat dan menambah beban bagi perekonomian.
Hal ini juga dapat berdampak pada nilai tukar rupiah, terutama jika inflasi tidak diimbangi dengan kebijakan moneter yang tepat.