Di sisi lain, The Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan mengambil kebijakan yang lebih akomodatif dalam waktu dekat, dengan potensi penurunan suku bunga acuan AS.
Kebijakan tersebut diharapkan dapat mempercepat arus modal masuk ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Indeks dolar AS (DXY) turun ke angka 100,67 pada pekan ketiga September 2024, mencapai titik terendahnya sejak September 2023.
Penguatan rupiah juga memberikan dampak positif pada stabilitas pasar domestik.
Dengan stabilnya nilai tukar rupiah, diharapkan harga-harga barang impor, termasuk bahan baku dan barang modal, tetap terkendali.
Hal ini akan memberikan dukungan bagi pertumbuhan ekonomi nasional, terutama di sektor-sektor yang sangat bergantung pada impor.
Namun, meskipun rupiah menunjukkan penguatan, beberapa tantangan eksternal tetap perlu diwaspadai, terutama terkait dengan kebijakan moneter global yang masih fluktuatif.
Keputusan The Fed terkait suku bunga akan berdampak signifikan pada pergerakan arus modal global.
Selain itu, faktor geopolitik, termasuk ketidakpastian di beberapa wilayah dunia, juga bisa mempengaruhi sentimen investor terhadap aset-aset di negara berkembang.
Secara keseluruhan, sentimen pasar terhadap rupiah pada hari ini masih bergantung pada hasil rapat RDG BI dan FOMC.
Jika BI mampu memberikan sinyal yang kuat terkait stabilitas ekonomi domestik dan menjaga suku bunga acuan, maka rupiah berpotensi untuk tetap stabil atau bahkan menguat lebih lanjut.
Namun, jika FOMC mengambil sikap yang lebih hawkish atau agresif terkait kebijakan moneter AS, tekanan terhadap rupiah mungkin akan kembali terjadi dalam beberapa minggu mendatang.
Dengan situasi yang dinamis ini, para pelaku pasar diharapkan terus memantau perkembangan terkini dari kedua pertemuan penting tersebut, serta menyiapkan strategi untuk mengantisipasi potensi perubahan arah kebijakan moneter baik dari BI maupun The Fed.