Pelajaran Demokrasi dari Tuntutan 17+8: Reformasi DPR dan Aspirasi Rakyat

Pelajaran demokrasi dari "Tuntutan 17+8"-Foto : ANTARA-
KORANPALPOS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya merespons desakan publik melalui gerakan "Tuntutan 17+8", dengan menetapkan enam poin keputusan.
Di antara enam poin keputusan tersebut adalah penghentian tunjangan perumahan bagi anggota DPR mulai 31 Agustus 2025, serta moratorium kunjungan ke luar negeri, kecuali untuk urusan kenegaraan yang jelas dan terverifikasi.
Dua isu utama yang menjadi sorotan publik adalah fasilitas perumahan dan perjalanan luar negeri, yang selama ini dianggap sebagai simbol kemewahan.
Keputusan penghentian ini menjadi sinyal bahwa DPR mulai menyadari adanya ketimpangan antara fasilitas yang dinikmati dan realitas kehidupan rakyat yang mereka wakili.
BACA JUGA:BP MPR Gelar Rapat Pleno, Bahas PPHN dan Program Kerja hingga 2025
BACA JUGA:Rusdi Gantikan Sahroni Jabat Wakil Ketua Komisi III DPR RI
Meski demikian, demonstran tetap menuntut kejelasan terkait mekanisme pengawasan dan implementasi kebijakan tersebut.
Mereka khawatir keputusan ini hanya akan menjadi janji di atas kertas, terutama terkait definisi dan batasan kunjungan "kenegaraan" yang masih kabur.
Selain itu, tunjangan dan fasilitas lain, seperti biaya listrik, telepon, komunikasi intensif, dan transportasi juga dipangkas karena dinilai tidak esensial.
Salah satu keputusan yang dianggap paling signifikan adalah penonaktifan anggota DPR oleh partainya.
BACA JUGA:Wiranto: Presiden Responsif, Bertahap Penuhi Tuntutan
BACA JUGA:Golkar Apresiasi Ketegasan Presiden Prabowo Redam Aksi Ricuh Demo
Langkah ini dipandang sebagai tonggak penting, sebuah benchmarking menuju tatanan baru yang lebih akuntabel dan berintegritas di tubuh DPR.
Salah satu komitmen yang dicatat untuk memperkuat transparansi dan partisipasi publik adalah pembukaan mekanisme konsultasi publik melalui platform digital.