Jodoh 3 Bujang: Cinta, Tradisi, dan Komedi dalam Balutan Budaya Bugis-Makassar !

Aktris film Jodoh 3 Bujang, Maizura sebagai Nisa (kedua kiri)-Foto : ANTARA-

Namun dalam beberapa kasus, tradisi ini juga bisa menjadi penghalang jika dimaknai hanya dari aspek nominal.

“Film ini tidak menyalahkan, tapi mengajak kita menengok ulang makna dari sebuah tradisi. Mengapa tradisi itu lahir, dan bagaimana seharusnya ia dijalani di masa kini,” ujar Arfan Sabran dalam sesi diskusi usai gala premier.

BACA JUGA:Gubernur Sumsel Hadiahkan Revitalisasi BKB

BACA JUGA:Pengemudi Ojol Menjerit

Melalui pendekatan naratif yang segar dan menghibur, film ini mencoba membuka ruang dialog antara generasi muda dan orang tua soal harapan, nilai, dan kompromi dalam pernikahan.

Lebih jauh, film ini menyentuh tema kesadaran dalam memilih pasangan hidup, bukan karena tekanan sosial atau keluarga.

“Pernikahan yang sehat itu harus dari kesadaran, bukan dari paksaan,” ujar Maizura, menekankan bahwa cinta yang sejati lahir dari keputusan yang bebas dan sadar, bukan transaksi atau tekanan budaya.

Pesan lainnya adalah tentang pentingnya ruang komunikasi yang sehat dalam hubungan cinta dan keluarga.

“Cinta itu harus berdampingan dengan ruang komunikasi yang baik, termasuk dengan keluarga. Kalau enggak, bisa salah jalan,” katanya.

Film ini dengan cerdas menampilkan dinamika percakapan antar anggota keluarga, termasuk konflik antara nilai-nilai lama dan aspirasi generasi muda, dengan cara yang ringan tapi mengena.

Film ini mengikuti kisah tiga saudara—Fadly (Jourdy Pranata), Kifly (Christoffer Nelwan), dan Ahmad (Rey Bong)—yang menghadapi tekanan untuk menikah sekaligus dalam satu acara, demi efisiensi biaya dari pihak keluarga.

Tapi semuanya menjadi kacau balau ketika cinta sejati berbenturan dengan rencana besar keluarga dan status sosial.

Premisnya sederhana, tapi justru dari kesederhanaan itulah lahir berbagai kelucuan, konflik batin, dan keputusan besar.

Situasi demi situasi yang dihadirkan mengocok perut, namun juga menyentil emosi, terutama ketika tokoh-tokoh harus memilih antara cinta dan restu, antara logika dan hati.

Arfan Sabran sebagai sutradara membawa sensitivitas dokumenter ke dalam drama komedi ini.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan