Putusan MK : Mengambil Anak Secara Paksa, Orang Tua Kandung Bisa Dipidana !

angkapan layar Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 140/PUU-XXI/2023 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/9/2024).-FOTO : ANTARA-

BACA JUGA:Gegara Judi Online, Kakak Beradik Tega Habisi Nyawa Tukang Ojek : Begini Kronologi Kejadiannya !

Para pemohon mengungkapkan bahwa meskipun mereka melaporkan mantan suami ke kepolisian, laporan mereka sering kali tidak diterima dengan alasan bahwa yang membawa kabur adalah ayah kandung anak.

Hal ini membuat mereka merasa terdiskriminasi dan kehilangan hak mereka sebagai orang tua.

Dalam laporan mereka, para ibu ini mengungkapkan kekecewaan karena mengalami kesulitan dalam mendapatkan kembali anak-anak mereka.

BACA JUGA:Kejari Muba Sita Aset Bedeng 12 Pintu Milik Richard Cahyadi di Bandung : Kasus Korupsi Aplikasi SANTAN !

BACA JUGA:Satroni Rumah Polisi : 1 dari 2 Pelaku Yang Merupakan Residivis Diberi Tindakan Tegas Terukur!

Sebagian besar dari mereka memiliki putusan pengadilan yang menetapkan mereka sebagai pemegang hak asuh, tetapi tetap tidak dapat bertemu dengan anak-anak mereka.

Dalam permohonan mereka, para ibu meminta agar MK mengganti frasa “barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP menjadi “setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak”.

Mereka merasa bahwa perubahan ini diperlukan agar tidak ada lagi keraguan tentang tanggung jawab hukum orang tua kandung dalam kasus penculikan anak.

MK menjelaskan bahwa frasa “barang siapa” adalah padanan kata dari bahasa Belanda “hij die” yang berarti siapa saja.

Dengan demikian, MK menyatakan bahwa frasa tersebut juga mencakup ayah atau ibu kandung anak.

Hakim Arief menekankan bahwa penegak hukum seharusnya tidak ragu untuk menerima laporan pengambilan anak yang dilakukan oleh orang tua kandung.

“Seharusnya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya penyidik Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP, dikarenakan unsur barang siapa yang secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang atau siapa saja tanpa terkecuali,” jelas Arief.

Mahkamah juga menegaskan bahwa Pasal 330 ayat (1) KUHP telah dirumuskan secara jelas dan tegas, sehingga tidak perlu diberikan pemaknaan tambahan.

Menurut mereka, penambahan pemaknaan baru justru akan menciptakan anomali di antara norma-norma lain dalam KUHP yang juga menggunakan frasa yang sama.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan