Mengurai persoalan beban utang Whoosh tidak cukup hanya dengan menyebut angka, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari kombinasi kebijakan, asumsi ekonomi, dan tantangan struktural yang saling terkait.
Pertama, perencanaan proyek yang terlalu optimistis. Proyeksi jumlah penumpang yang menjadi dasar kelayakan ekonomi ternyata jauh meleset dari kenyataan.
Di atas kertas, angka okupansi yang tinggi dianggap realistis karena jarak Jakarta–Bandung cukup padat aktivitas.
Hanya saja, dalam praktiknya, banyak calon penumpang tetap memilih kendaraan pribadi atau moda transportasi lain karena alasan fleksibilitas, harga, dan akses stasiun.
Kedua, keterbatasan konektivitas dan integrasi transportasi pendukung.
Banyak pengguna mengeluhkan bahwa stasiun Whoosh di Tegalluar relatif jauh dari pusat Kota Bandung, sementara akses transportasi penghubung belum optimal.
Hal ini membuat perjalanan menjadi tidak efisien.
Ketiga, pembengkakan biaya konstruksi (cost overrun) yang luar biasa.
Faktor perubahan desain, kenaikan harga bahan, dan hambatan pembebasan lahan membuat biaya naik hampir 20 persen dari rencana awal.
Setiap penambahan biaya otomatis memperbesar pinjaman, dan setiap pinjaman baru berarti tambahan bunga yang menekan keuangan proyek.
Keempat, struktur pembiayaan yang berat sebelah. Sebagian besar pinjaman bersumber dari lembaga keuangan luar negeri dengan bunga dan tenor tertentu yang kurang fleksibel terhadap kondisi pasar domestik.
Ini menambah kerentanan terhadap fluktuasi nilai tukar dan risiko makroekonomi.
Tidak heran jika beban utang Whoosh menjadi topik hangat di DPR maupun ruang publik.
Sebagian anggota dewan menilai proyek ini "belum siap secara ekonomi", sementara sebagian lainnya menganggap bahwa proyek seperti ini memang harus dipandang sebagai investasi jangka panjang.
Di tengah perdebatan itu, satu hal yang pasti: proyek ini tidak bisa berhenti di tengah jalan.
Infrastruktur sebesar dan semahal ini tidak mungkin ditinggalkan, tanpa penyelesaian.