Kasus ini mendapat sorotan luas karena menyangkut seorang nenek berusia lanjut.
Publik menilai proses hukum yang dijalani Ernaini seharusnya bisa lebih bijak, mengingat faktor usia dan lemahnya bukti sejak awal.
Beberapa aktivis hukum di Palembang bahkan menyebut perkara ini sebagai bentuk “overkriminalisasi” yang tidak seharusnya dilanjutkan ke pengadilan.
Mereka menilai, jika bukti lemah sejak tahap penyidikan, seharusnya kasus tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Kasus Ernaini juga menjadi pengingat tentang pentingnya perlindungan hukum bagi kelompok rentan, khususnya lansia, agar tidak menjadi korban dari sistem hukum yang tidak adil.
Dengan putusan bebas murni ini, secara hukum Ernaini dinyatakan tidak bersalah.
Namun, pihak Kejaksaan masih memiliki opsi kasasi ke Mahkamah Agung apabila tidak puas dengan putusan.
Hingga berita ini diturunkan, JPU belum menyampaikan sikap resminya.
Di sisi lain, pihak kuasa hukum Ernaini bersiap untuk menggugat secara perdata maupun praperadilan terkait dugaan kriminalisasi dan kerugian yang dialami kliennya.
“Kami ingin keadilan tidak hanya berhenti di sini. Negara harus bertanggung jawab terhadap kerugian moril dan materiil yang dialami Ibu Ernaini,” tegas Wendi.
Kasus nenek Ernaini menjadi cerminan bagaimana hukum bisa menekan kelompok lemah, tetapi juga sekaligus memperlihatkan bahwa ruang keadilan masih terbuka lewat independensi hakim.
Putusan bebas murni ini tidak hanya melegakan Ernaini dan keluarganya, tetapi juga menjadi harapan baru bagi masyarakat luas bahwa peradilan yang bersih dan berintegritas masih bisa diwujudkan.