Tanpa kebijakan transisi yang kuat, kita akan menyaksikan siklus kelelahan sosial yang berulang dan kian dalam.
Beban ekonomi hanya salah satu sisi dari permasalahan.
Generasi sandwich juga menghadapi tekanan emosional dan psikologis yang berat. Mereka dituntut untuk produktif dengan tanggung jawab berlapis.
Mereka merawat orang tua yang menua dengan segala kebutuhannya, sekaligus mendampingi anak-anak yang memerlukan perhatian, pendidikan, dan kasih sayang.
Sering kali, generasi ini terpaksa menunda bahkan mengorbankan tujuan pribadinya.
Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menimbulkan kelelahan emosional, stres, bahkan gangguan kesehatan mental yang serius.
Sayangnya, isu ini masih jarang dibicarakan dalam diskursus publik maupun dalam perumusan kebijakan negara.
Celakanya, pengorbanan ini seringkali dianggap sebagai bentuk ideal dari kesalehan anak, tanpa menyadari bahwa pengorbanan tanpa batas tanpa dukungan sistem berisiko merusak individu dan menghancurkan produktivitas kolektif.
Kelelahan yang terakumulasi selama bertahun-tahun akan melahirkan generasi yang cemas, rentan, dan kehilangan optimisme terhadap masa depan.
Dalam jangka panjang, ini adalah ancaman laten terhadap ketahanan sosial bangsa.
Salah satu akar masalahnya adalah belum inklusifnya sistem perlindungan sosial di Indonesia.
Banyak program perlindungan sosial masih berfokus pada kelompok penduduk miskin, sementara kelompok rentan miskin belum tersentuh secara optimal.
Padahal, memperkuat kelompok ini adalah strategi jangka panjang dalam mencegah angka kemiskinan melonjak di masa yang akan datang.
Akses terhadap layanan kesehatan, asuransi pendidikan, program pensiun, serta dukungan layanan pengasuhan lansia masih sangat terbatas.
Kalaupun ada, biayanya kerap tidak terjangkau oleh kelas menengah bawah, kelompok yang paling banyak mengisi lapisan generasi sandwich.
Akibatnya, beban tetap berada di pundak individu, dan negara seperti absen dalam memberikan perlindungan nyata.