Dalam konteks inilah generasi sandwich menjadi simbol dari ketegangan sosial yang tumbuh dalam masyarakat modern.
BACA JUGA:Perkuat Pengawasan dan Sanksi Tegas
BACA JUGA:Minta Jaminan Hak Pedagang Pasar 16 Ilir
Mereka hidup di antara dua generasi yang sama-sama membutuhkan dukungan, namun tak cukup memiliki kekuatan struktural untuk menopang keduanya secara berkelanjutan.
Ini bukan sekadar cerita tentang beban keluarga, melainkan gejala dari sistem yang belum mampu menciptakan jaring pengaman lintas generasi.
Kehidupan mereka mencerminkan jurang antara narasi keberhasilan ekonomi dan realitas kerentanan sosial yang tak tertangkap dalam indikator makro.
Generasi sandwich sangat rentan masuk dalam kategori ini.
Mereka berada di ambang garis kemiskinan, tergolong dalam penduduk rentan miskin yang hidup tanpa jaring pengaman memadai.
Pendapatan mereka terdistribusi ke berbagai arah, sehingga hampir tidak ada ruang untuk investasi masa depan ataupun tabungan darurat.
Berdasarkan survei Litbang Kompas pada tahun 2022, sebanyak 67 persen responden usia produktif merasa menjadi bagian dari generasi sandwich.
Ini menunjukkan bahwa fenomena ini sudah sangat luas dan bukan sekadar anekdot sosial.
Bahkan, diperkirakan pada 2045, sekitar 77,8 persen kebutuhan lansia di Indonesia akan bergantung pada anggota keluarga yang masih bekerja.
Jika tidak ada intervensi struktural, maka tekanan terhadap generasi sandwich hanya akan semakin besar ke depan.
Angka-angka ini memberikan peringatan dini tentang ketidaksiapan negara menghadapi perubahan struktur keluarga dan populasi.
Dalam masyarakat yang semakin menua, ketergantungan antargenerasi tidak bisa lagi disandarkan sepenuhnya pada relasi kekeluargaan.
Negara harus mulai membangun sistem yang secara sadar dan sistematis menjamin keberlangsungan hidup lansia tanpa membebani generasi produktif secara berlebihan.