Ia menilai bahwa penerapan kebijakan ini bisa memicu resistensi, terutama dari masyarakat kelas menengah ke bawah yang ekonominya belum stabil.
Thamrin juga menyoroti bahwa kebijakan ini bisa menjadi tambahan beban bagi masyarakat yang sudah kesulitan ekonomi.
Jika kendaraan mereka dihapus dari registrasi hanya karena keterlambatan pajak, dampaknya bisa berujung pada hilangnya alat transportasi yang menjadi penunjang pekerjaan.
"Banyak masyarakat yang menggunakan kendaraan bermotor sebagai alat mencari nafkah, seperti ojek online, kurir, atau pedagang keliling. Jika kendaraan mereka dianggap ilegal karena menunggak pajak, maka dampaknya bisa lebih besar dari sekadar kehilangan aset," jelasnya.
Selain itu kata dia, resistensi dari masyarakat juga bisa semakin besar jika kebijakan ini dianggap lebih mengutamakan kepentingan pendapatan negara dibandingkan kesejahteraan publik.
Agar kebijakan ini lebih diterima masyarakat, Thamrin menyarankan pemerintah untuk mengedepankan pendekatan persuasif.
"Pemerintah perlu melakukan sosialisasi intensif agar masyarakat benar-benar memahami kebijakan ini, bukan hanya sekadar mengumumkan tanpa edukasi yang memadai," katanya.
Selain itu, ia juga menyarankan agar diberikan insentif bagi wajib pajak yang patuh, seperti diskon pajak bagi yang membayar tepat waktu atau skema cicilan bagi mereka yang memiliki tunggakan besar.
Bagi kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi, Thamrin menilai perlu ada kebijakan keringanan agar mereka tidak langsung terkena dampak penghapusan registrasi kendaraan.
Di sisi lain, kebijakan ini juga menuai gelombang protes dari netizen.
Banyak yang menilai aturan ini tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat dan hanya bertujuan meningkatkan pendapatan pajak tanpa solusi yang adil bagi rakyat kecil.
Sejak diumumkan, berbagai reaksi keras bermunculan di media sosial.
Tagar seperti #TolakSitaKendaraan dan # PajakBukanPemerasan mulai ramai digunakan oleh warganet yang menentang aturan ini.
"Banyak orang enggak bayar pajak bukan karena malas, tapi karena ekonomi lagi sulit. Masa solusinya malah kendaraan dihapus dari data Samsat? Ini jelas enggak adil!" tulis seorang pengguna X (Twitter).
Seorang netizen lainnya berkomentar, "Yang kaya bisa bayar pajak dengan mudah, yang susah malah kehilangan kendaraannya.
Kalau motornya satu-satunya alat kerja, terus mau disita, bagaimana nasib mereka?"