Bagindo menambahkan, dengan meningkatnya peran teknologi dalam politik, masyarakat diharapkan menjadi garda terdepan dalam melawan praktik kampanye kotor.
Pendidikan literasi digital menjadi kunci untuk membangun pemilih yang cerdas dan kritis.
"Jangan sampai kita terpecah karena informasi yang tidak benar. Mari bersama-sama menjaga integritas demokrasi Indonesia. Tetap waspada dan jadilah pemilih yang cerdas untuk mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan bermartabat," ungkapnya.
Sementara Pakar Hukum Pidana, Achmad Azhari SH mengatakan, bahwa berdasarkan Pasal 69 huruf c UU 8/2015 dan penjelasannya, secara tegas disebutkan bahwa kampanye hitam atau black campaign adalah melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
Dapat dilihat di KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) kampanye hitam adalah kampanye dengan cara menjelek-jelekkan lawan politik.
"Black campaign dapat pula diartikan sebagai kampanye yang bersifat kepada penghinaan, menyebarkan berita bohong, fitnah, atau ditujukan untuk menjatuhkan kandidat tertentu," katanya.
Selain itu, kegiatan black campaign tidak hanya merugikan pasangan dari calon yang diajukan dalam pemilihan umum (pemilu), tetapi juga merugikan masyarakat karena menerima informasi palsu atau hoax.
Pelanggaran kampanye hitam memang tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Aturannya di pasal 69 huruf b yakni menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, Calon Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik.
Dan huruf c disebutkan, melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.
Sanksi pidananya di pasal 187 ayat 2 pidana penjara minimal 3 bulan dan maksimal 18 bulan dan denda Rp600 ribu hingga Rp6 juta.
Sedangkan di aturan lain, pasal 280 ayat 1 Undang-undang Pemilu mengatur tentang larangan dalam kampanye disebutkan huruf c menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain, dan huruf d menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
Di pasal ini juga mengatur bahwa tindakan tersebut bisa dikenakan sanksi pidana maksimal 2 tahun penjara dan dikenakan denda maksimal Rp24 juta.
"Bisa juga dikenakan Pasal 28 juncto pasal 45A Undang-undang nomor 1 tahun 2024 tentang ITE disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja mendistribusikan atau mentransmisikan informasi bohong melalui media elektronik dapat dipidana maksimal 6 tahun penjara serta denda maksimal Rp1 miliar," jelasnya.
Intinya sebagai Pakar Hukum Pidana yang tidak terlibat dalam politik praktis mengajak atau mengimbau para pasangan calon peserta Pilkada baik di pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota tidak melakukan black campaign terhadap kandidat lain.
Apabila terdapat pasangan peserta Pilkada yang melakukan black campaign agar segera melaporkan ke Bawaslu setempat guna terciptakan Pilkada jurdil alias jujur, dan adil, siap menang dan siap kalah dalam kontestasi Pilkada.