Untuk pekan yang berakhir pada 11 Oktober 2024, jumlah klaim turun menjadi 241 ribu dari 260 ribu di pekan sebelumnya.
Hasil ini jauh lebih rendah dari estimasi pasar yang memperkirakan angka sebesar 259 ribu.
Penurunan ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja AS masih dalam kondisi solid, yang pada gilirannya memberi tekanan tambahan bagi nilai tukar mata uang lainnya, termasuk rupiah.
BACA JUGA:Update ! Harga Emas Antam 12 Oktober 2024 : Melonjak Rp14.000 Menjadi Rp1,495 Juta per Gram
BACA JUGA:Update ! Harga Emas Antam 11 Oktober 2024 : Naik Rp8.000 Menjadi Rp1,481 Juta per Gram
Kuatnya data ekonomi AS ini meningkatkan ketidakpastian mengenai arah kebijakan suku bunga Federal Reserve (The Fed) di sisa tahun 2024.
Sebelumnya, ada ekspektasi bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) di Desember 2024.
Namun, dengan data ekonomi yang lebih kuat dari perkiraan, probabilitas penurunan suku bunga tersebut kini menurun dari 80 persen menjadi sekitar 70 persen.
“Kondisi ini menciptakan ketidakpastian di pasar, karena investor kini harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa The Fed mungkin menunda pemotongan suku bunga jika ekonomi AS terus menunjukkan performa yang kuat,” lanjut Josua.
Kebijakan suku bunga The Fed merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi nilai tukar dolar AS terhadap mata uang lainnya, karena suku bunga yang lebih tinggi cenderung menarik investor untuk memegang dolar AS, yang menyebabkan penguatan mata uang tersebut.
Selain penguatan dolar AS, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh pergerakan mata uang utama lainnya, terutama euro.
Indeks dolar AS mengalami penguatan yang didorong oleh pelemahan euro setelah rilis kebijakan moneter terbaru dari European Central Bank (ECB) serta data inflasi di kawasan Eurozone.
ECB kembali memangkas suku bunga kebijakan sebesar 25 bps untuk ketiga kalinya pada 2024, membawa suku bunga acuan mereka turun ke level 3,25 persen.
Langkah ini diambil sejalan dengan ekspektasi pasar, mengingat inflasi di zona Euro menurun menjadi 1,7 persen year-on-year (yoy) pada September 2024, dari 1,8 persen yoy pada bulan sebelumnya.
Langkah ECB yang lebih dovish ini memperlebar perbedaan suku bunga antara ECB dan The Fed, yang menyebabkan aliran modal mengalir kembali ke AS, memperkuat dolar AS lebih lanjut.
Dengan pelemahan euro, dolar AS terus mendapatkan keuntungan di pasar valuta asing, yang pada akhirnya memberikan tekanan tambahan terhadap rupiah dan mata uang negara-negara berkembang lainnya.