Saat masyarakat di daerah Tanjung Kemala memutuskan untuk mendirikan perkampungan baru, mereka sepakat untuk menamai perkampungan tersebut Martapura.
Sebagai penghormatan kepada H. Jamaludin dan daerah kelahirannya di Kalimantan Selatan.
Usulan tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat, dan dari situlah nama Martapura mulai digunakan.
Pada masa Kesultanan Palembang, sistem pemerintahan di wilayah Uluan Negeri Palembang sangat terstruktur.
Wilayah ini berada di bawah pemerintahan marga, di mana kepala marga memiliki tanggung jawab langsung kepada Sultan Palembang.
Kepala marga ini memiliki otonomi yang besar dalam mengatur wilayahnya, sehingga masyarakat setempat memiliki kontrol yang cukup dalam pengelolaan urusan lokal.
Dengan otonomi ini, masyarakat bisa lebih berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Namun, perubahan besar terjadi setelah Belanda menghapuskan Kesultanan Palembang pada tahun 1825.
Wilayah Palembang yang sebelumnya dikelola oleh sultan diganti menjadi keresidenan Palembang.
Pada masa ini, struktur pemerintahan mengalami perubahan signifikan, di mana pemerintahan lokal dikelola dengan sistem yang lebih terpusat.
Keresidenan Palembang memperkenalkan pembagian wilayah yang dikenal dengan sebutan afdeling.
Di bawah afdeling, terdapat unit yang lebih kecil yang disebut onderafdeling.
Di daerah Komering, pembagian onderafdeling dilakukan secara strategis, dan wilayah ini terbagi menjadi dua onderafdeling.
Martapura, yang saat ini dikenal sebagai ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, dulunya merupakan ibu kota dari onderafdeling Komering Ulu.
Dengan adanya perubahan ini, Martapura tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga sebagai pusat ekonomi dan sosial bagi masyarakat di sekitarnya.
Sementara itu, terdapat onderafdeling lain yaitu Ogan Ulu, yang beribukota di Baturaja, dan Muara Dua yang beribukota di Muara.