Update ! Kurs Rupiah 7 Oktober 2024 : Anjlok 155 Poin Menjadi Rp15.485 per Dolar AS

Senin 07 Oct 2024 - 10:38 WIB
Reporter : Echi
Editor : Zen Kito

Data NFP adalah indikator utama yang mencerminkan jumlah pekerja di sektor non-pertanian AS dan sering digunakan untuk mengukur kesehatan ekonomi negara tersebut.

Angka ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja AS tetap kuat, meskipun banyak pihak sebelumnya memperkirakan adanya perlambatan.

Kinerja tenaga kerja yang solid ini memperkuat kemungkinan bahwa Federal Reserve (The Fed), bank sentral AS, tidak akan segera memangkas suku bunga dalam waktu dekat.

BACA JUGA:Update ! Kurs Rupiah 19 September 2024 : Melemah 8 Poin Menjadi Rp15.343 per Dolar AS

BACA JUGA:Update ! Kurs Rupiah 18 September 2024 : Menguat 5 Poin Menjadi Rp15.330 per Dolar AS

"Data NFP yang kuat ini membuat The Fed semakin hati-hati dalam mengubah kebijakan moneter, terutama terkait dengan penurunan suku bunga yang lebih besar. Pasar melihat hal ini sebagai tanda bahwa kebijakan suku bunga tinggi masih akan berlanjut untuk beberapa waktu," tambah Ariston.

Selain kondisi ketenagakerjaan AS yang solid, ketegangan geopolitik di Timur Tengah juga memberikan pengaruh besar terhadap pasar uang global, termasuk nilai tukar rupiah.

Ketegangan di wilayah tersebut semakin meningkat, terutama setelah laporan bahwa Israel sedang menyusun rencana untuk melakukan serangan besar-besaran, menyusul serangan dari Iran.

"Konflik di Timur Tengah ini meningkatkan ketidakpastian global. Dolar AS, sebagai aset safe haven, mendapatkan penguatan tambahan karena investor cenderung mencari keamanan di tengah ketidakstabilan geopolitik," ujar Ariston.

Aset safe haven seperti dolar AS, emas, dan obligasi pemerintah AS sering kali diminati investor ketika terjadi ketidakpastian global.

Konflik yang sedang berlangsung di Timur Tengah, khususnya antara Israel dan Iran, menambah kekhawatiran akan potensi eskalasi yang lebih luas, sehingga mendorong permintaan akan dolar AS.

Pelemahan rupiah yang mencapai 1 persen pada perdagangan Senin pagi ini tentu menimbulkan sejumlah kekhawatiran, terutama bagi pelaku ekonomi domestik.

Dengan melemahnya nilai tukar rupiah, harga barang impor cenderung meningkat. Hal ini dapat mempengaruhi berbagai sektor ekonomi, terutama yang sangat bergantung pada impor bahan baku atau produk dari luar negeri.

Industri manufaktur yang bergantung pada bahan baku impor, seperti sektor otomotif, elektronik, dan makanan olahan, mungkin akan merasakan dampak langsung dari pelemahan rupiah ini.

Kenaikan biaya produksi akibat pelemahan nilai tukar bisa menyebabkan peningkatan harga produk akhir, yang pada akhirnya bisa membebani konsumen.

Selain itu, sektor keuangan juga bisa terdampak oleh fluktuasi nilai tukar ini.

Kategori :