Kebijakan kenaikan suku bunga ini memicu aliran modal keluar dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Di mana para investor asing cenderung menarik dananya dari pasar negara berkembang dan memindahkannya ke aset berdenominasi dolar AS yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi.
Aliran keluar modal asing ini secara langsung berdampak pada tekanan terhadap rupiah, karena permintaan terhadap dolar AS meningkat di pasar.
BACA JUGA:Update ! Kurs Rupiah 18 September 2024 : Menguat 5 Poin Menjadi Rp15.330 per Dolar AS
BACA JUGA:Update ! Kurs Rupiah 13 September 2024 : Menguat 29 Poin Menjadi Rp15.410 per Dolar AS
2. Kondisi Ekonomi Global yang Tidak Stabil
Selain kebijakan moneter The Fed, situasi ekonomi global yang tidak stabil juga menjadi pemicu pelemahan rupiah.
Konflik geopolitik yang berkepanjangan, perang dagang, serta ketegangan antara negara-negara besar telah menciptakan ketidakpastian di pasar global.
Ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang melambat dan mengurangi daya tarik negara-negara berkembang bagi para investor global.
Dengan kondisi ekonomi global yang masih belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi COVID-19 dan disertai oleh berbagai tantangan baru, ketidakpastian ekonomi semakin meningkat.
Investor cenderung mencari aset-aset aman seperti dolar AS, yang menyebabkan mata uang seperti rupiah melemah.
3. Tekanan dari Dalam Negeri
Selain faktor eksternal, kondisi domestik juga turut berkontribusi terhadap melemahnya nilai tukar rupiah.
Salah satunya adalah defisit transaksi berjalan Indonesia yang berkelanjutan.
Defisit ini terjadi ketika nilai impor negara lebih besar daripada ekspor, yang berarti Indonesia harus mengeluarkan lebih banyak dolar AS untuk membayar barang-barang impor.
Sedangkan pendapatan dari ekspor tidak cukup untuk menutup biaya tersebut.