Ini menunjukkan adanya ketidaksetujuan internal dalam proses pembahasan revisi UU Pilkada di DPR.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang hadir dalam rapat Panja Baleg tersebut, menyatakan bahwa pemerintah mendukung hasil pembahasan itu untuk dibawa ke rapat paripurna DPR.
Sementara itu, Wakil Ketua Baleg, Achmad Baidowi, memimpin rapat Panja Baleg dan menanyakan persetujuan peserta rapat terhadap hasil pembahasan RUU tersebut.
Mayoritas peserta rapat menyatakan persetujuannya, yang semakin memperjelas bahwa keputusan ini sudah mendapatkan dukungan politik yang signifikan di DPR.
Namun, Palguna mengingatkan bahwa tindakan Baleg DPR RI berpotensi menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat dan kalangan civil society.
Palguna mensinyalir bahwa rakyat Indonesia, kalangan akademisi, dan aktivis masyarakat sipil harus bersiap untuk melawan tindakan ini jika mereka merasa keputusan tersebut melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
Dalam sistem demokrasi, konstitusi adalah landasan utama yang harus dijaga dan dihormati oleh semua lembaga negara.
Ketika putusan Mahkamah Konstitusi, sebagai penjaga konstitusi, diabaikan atau disiasati, maka hal tersebut dapat memicu krisis kepercayaan terhadap sistem hukum dan demokrasi itu sendiri.
Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah, yang sebelumnya ditetapkan minimal 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), menjadi didukung oleh partai politik dengan perolehan suara antara 6,5 hingga 10 persen dari total suara sah.
Putusan ini juga menetapkan syarat usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur menjadi 30 tahun.
Namun, dalam revisi UU Pilkada yang dibahas oleh Baleg, terdapat perubahan yang dianggap menyiasati putusan MK tersebut.
Misalnya, dalam Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada, Panja Baleg merumuskan batas usia minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih, bukan sejak pendaftaran.
Ini dinilai sebagai upaya untuk menghindari putusan MK yang seharusnya diikuti.
Selain itu, Baleg juga mengatur bahwa ambang batas pencalonan sebesar 6,5 hingga 10 persen suara sah hanya berlaku bagi partai politik non-kursi di DPRD, sedangkan untuk partai pemilik kursi di DPRD, ambang batas pencalonan tetap sebesar 20 persen dari jumlah kursi di Dewan atau 25 persen dari perolehan suara sah.
Perubahan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa prinsip kesetaraan dalam pencalonan kepala daerah dapat terganggu.
Tidak hanya masyarakat umum, kalangan akademisi dan civil society juga mulai angkat bicara mengenai kontroversi ini.