Mereka memandang bahwa tindakan Baleg DPR RI ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi DPR dan Mahkamah Konstitusi.
Banyak yang berpendapat bahwa jika revisi UU Pilkada ini disahkan dalam rapat paripurna DPR, maka ini akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
Beberapa akademisi juga menyoroti perlunya upaya hukum lebih lanjut untuk memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi diimplementasikan dengan benar.
Mereka mengusulkan agar rakyat dan organisasi masyarakat sipil bersatu untuk mengajukan peninjauan kembali terhadap revisi UU Pilkada yang telah disetujui Baleg.
Hal ini dinilai penting untuk menjaga integritas konstitusi dan keadilan dalam proses pemilihan kepala daerah.
Keputusan Baleg DPR yang membangkang terhadap putusan MK ini tentu saja memiliki implikasi politik yang besar.
Dalam jangka pendek, hal ini dapat memicu ketegangan antara legislatif dan yudikatif, yang berpotensi melemahkan sistem check and balances dalam pemerintahan.
Selain itu, jika masyarakat merasa bahwa hak-hak mereka diabaikan, hal ini dapat memicu protes atau gerakan sosial yang lebih besar.
Dalam jangka panjang, jika tindakan seperti ini terus terjadi, maka akan ada risiko bahwa lembaga-lembaga negara lain akan mengikuti jejak yang sama, mengabaikan putusan hukum yang tidak sesuai dengan kepentingan politik mereka.
Ini bisa berujung pada erosi prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.
Kontroversi seputar pembahasan revisi UU Pilkada di Baleg DPR RI telah membuka diskusi lebih luas mengenai krisis konstitusi yang sedang dihadapi Indonesia.
Tindakan Baleg yang dianggap membangkang putusan Mahkamah Konstitusi adalah tanda-tanda awal dari potensi krisis yang lebih besar dalam sistem demokrasi dan hukum di Indonesia.
Penting bagi masyarakat, civil society, dan akademisi untuk tetap waspada dan terus memperjuangkan keadilan serta supremasi hukum agar demokrasi di Indonesia tetap terjaga dan berjalan sesuai dengan konstitusi.