Sementara itu, Pengamat Sosial dan Politik, M Haekal Al Haffafah S Sos, M Sos menilai,
sulit rasanya kehadiran PP tersebut untuk menghindar dari berbohong dengan mengatakan, bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2023 terbebas dan steril dari kepentingan politis.
"Argumentasi yang perlu disampaikan bahwa ada paradoks dalam demokrasi yang mewajibkan hadirnya kompetisi disatu sisi tapi mengharuskan keadilan disisi yang lain, peraturan pemerintah 53 tahun 2023 yang membolehkan cuti atau tidak wajib mundur secara tergopoh-gopoh menabrak prinsip sejajar dan setara diantara peserta pemilu," ujar Haekal.
Apalagi lanjut Haekal, disana ada anak Presiden sebagai kandidat Cawapres maju dan berkompetisi, sementara Presiden Jokowi menandatangani aturan yang mengaminkan anaknya boleh cuti.
"Dengan kata lain boleh menggunakan fasilitas negara (gaji, tunjangan, fasilitas jabatan dll,red) sekalipun secara bersamaan memberi ruang kepada kandidat lain yang secara aturan terikat dalam kategori PP No 53 tahun 2023 .
Prinsip selanjutnya kata Haekal, secara gamblang dalam demokrasi adalah kedaulatan suara mayoritas sehingga tidak mungkin tercipta pemilu secara fair, adil dan sportif jika masih ada kekhawatiran adanya intervensi kekuasaan (upaya mempengaruhi) ASN atau mengkondisikan suara pemilih lewat status jabatan politik yang masih melekat.
"Dari peristiwa MK yang memberi ruang kepada walikota solo untuk maju sebagai cawapres, kemudian dipecatnya Ketua MK Anwar Usman lalu kemudian muncul peraturan pemerintah No 53 tahun 2023 yang ditandatangani Presiden," terangnya
Semestinya lanjut Haekal, kita perlu meminjam teori kontrak sosial Jhon Locke (filsuf politik terkenal) bahwa legitimasi atau otoritas politik yang diberikan kepada negara, justru dibangun dengan gagasan untuk membatasi kekuasaan (peluang absolut) Presiden, yang kehadirannya justru ingin mengubur ancaman bahaya laten nepotisme atau pemerintahan gaya absolut.
Sebelumnya, Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana dalam keterangannya secara terpisah menyatakan, berdasarkan ketentuan itu maka keputusan mundur atau tidaknya menteri atau kepala daerah saat maju pilpres merupakan pilihan individual.
"Pilihan individual dari masing-masing pejabat publik itu. Kalau yang memutuskan mundur maka diberikan ruang untuk mundur. Tapi kalau beliau masih tetap menjabat berarti harus ikuti aturan yang terkait dengan pengaturan kampanye yang sudah diatur undang-undangnya," ujar Ari.
Adapun diberitakan sebelumnya, dalam PP itu juga diatur bahwa para menteri, pejabat setingkat menteri dan kepala daerah dapat melaksanakan cuti kampanye di Pemilu 2024.
Syaratnya adalah yang bersangkutan merupakan calon presiden atau calon wakil presiden; berstatus sebagai anggota partai politik; atau merupakan anggota tim kampanye atau pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).(rob/nik/sro/tim/ant)