PALEMBANG - Pemerintah pusat kembali mengeluarkan kebijakan yang terkesan kontroversi dan cenderung tak mengindahkan demokrasi yang sehat.
Kebijakan tersebut yakni tidak diwajibkannya Menteri, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) maupun legislator untuk mengundurkan diri jika maju atau nyalon Pilkada termasuk juga menjadi Capres atau Cawapres pada 2024 mendatang.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 21 November 2023, sebagaimana dikutip di Jakarta, Jumat kemarin (24/11).
Dimana dalam pasal 18 ayat (1) PP tersebut dijelaskan pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, menteri dan pejabat setingkat menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.
Namun, menteri dan pejabat setingkat menteri yang dicalonkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon presiden atau calon wakil presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari Presiden.
Kebijakan kontroversi yang seperti menguntungkan salah satu Cawapres ini ditanggapi sejumlah warga selaku pemilik hak pilih Pemilu 2024.
Milan, warga Perumnas Kota Palembang mengatakan, PP No 53/2023, yang telah ditandatangani presiden Jokowi tersebut.
“Ini adalah melanggar etika dan kemunduran demokrasi. Saya rasa ini ditetapkan demi kepentingan pribadi. Ya Karena anak Presiden kita (Gibran Rakabuming Raka,red) maju jadi Cawapres,” jelasnya, Minggu (26/11).
Menurutnya hal ini sangatlah miris membuat semua orang semakin mengetahui akan besarnya peranan orang penting dan berkuasa demi kepuasan guna mencapai yang diinginkannya.
“Semua demi kekuasaan, miris sekali,” tandasnya.
Sedangkan Ryans, salah seorang warga Kemuning Palembang mengatakan, dengan aturan PP tersebut, maka akan besar peluang sang kepala daerah untuk memanfaatkan kekuasaan dan fasilitas negara untuk kepentingan politiknya.
“Tentu saja, nanti ujung- ujungnya ya begitu. Lihat saja tayangan televisi katanya memperingati hari besar eh padahal ada unsur politik kampanye. Sedih sekali ini,” jelasnya.
Maka itu, sebagai warga Indonesia, dia sangat tidak setuju akan peraturan tersebut. “Ya tidak sepakat dong saya,” tutupnya.
Hendra, warga Palembang lainnya mengatakan, PP tersebut tidak sesuai dengan Demokrasi.Karena kata dia, PP tersebut dapat menjadi celah mereka yang masih menjabat untuk melakukan kecurangan.
"Pasti ada kepentingan tertentu, potensi terbesarnya adalah adanya kecurangan. Pejabat terkait ada peluang untuk memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan politiknya," ungkap dia.