Kadisnakertrans Sumsel Akui Tak Pernah Lapor LHKPN

Mantan Kadisnakertrans Sumsel, Deliar berjalan menuju ruang persidangan di PN Tipikor Palembang, Rabu (11/06)-foto:dokumen palpos-
Tak hanya menerbitkan surat K3 fiktif, terdakwa juga diduga menawarkan "paket penyelesaian" atas sejumlah pelanggaran norma kerja yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tertentu.
Uang diberikan untuk menutupi temuan lapangan dan menghindarkan perusahaan dari sanksi administrasi atau pidana ketenagakerjaan.
"Ini bukan hanya soal administrasi, tetapi menyangkut nyawa pekerja yang harus dilindungi melalui sertifikasi dan inspeksi yang benar. Namun justru diperjualbelikan," tegas jaksa.
Atas perbuatannya, Deliar Marzoeki dijerat dengan Pasal 11 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ia juga dikenakan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan.
Jika terbukti bersalah, terdakwa terancam pidana penjara maksimal 20 tahun serta denda miliaran rupiah, serta penyitaan seluruh aset kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan.
Majelis hakim telah menetapkan bahwa sidang lanjutan akan digelar pada pekan depan dengan agenda pembacaan tuntutan pidana oleh Jaksa Penuntut Umum.
“Kami akan menyiapkan tuntutan maksimal karena terdakwa merupakan pejabat negara yang tidak menunjukkan itikad baik selama proses hukum berjalan. Apalagi ini menyangkut keselamatan pekerja,” pungkas JPU di luar persidangan.
Kasus ini menyita perhatian masyarakat luas, terutama aktivis antikorupsi di Sumsel.
Direktur Eksekutif Sumsel Corruption Watch (SCW), Andi Hermawan, menyebut bahwa pengungkapan kasus ini harus menjadi momentum bersih-bersih birokrasi dari praktik rente dan jual beli kewenangan.
"Praktik pungli dan suap dalam proses sertifikasi K3 adalah kejahatan sistemik yang merugikan masyarakat luas. Ini soal nyawa, bukan hanya angka. Kami mendorong Kejaksaan untuk mengembangkan kasus ini hingga ke aktor-aktor lain yang terlibat," ujarnya.
Andi juga mengkritik lemahnya pengawasan terhadap pelaporan LHKPN, terutama di level daerah.
“Banyak pejabat tidak tertib melapor, bahkan mengakui tidak paham aturan. Ini alasan klasik untuk menutupi praktik pencucian uang dan gratifikasi,” tambahnya.*