Gus Dur Layak Jadi Pahlawan Nasional : Alasannya Gagas Libur Imlek !
Ketua Fraksi PKB MPR RI Neng Eem Marhamah Zulfa. -Foto : ANTARA -
KORANPALPOS.COM - Ketua Fraksi PKB MPR RI, Neng Eem Marhamah Zulfa, menegaskan bahwa Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Salah satu alasannya adalah perjuangan beliau dalam memperjuangkan hak-hak warga Tionghoa dengan mencabut larangan perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia.
Gus Dur, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, mencabut Instruksi Presiden (Inpres) era Presiden Soeharto yang membatasi kebebasan beragama dan budaya etnis Tionghoa, termasuk larangan perayaan Imlek.
Keputusan ini membuka jalan bagi Imlek untuk diakui sebagai hari libur nasional, yang kemudian secara resmi ditetapkan oleh Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri.
BACA JUGA:Komisi I DPR RI Desak Pemerintah Usut Penembakan PMI
BACA JUGA:Dorong Megawati Kembali Pimpin PDIP
"Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid menunjukkan bahwa Gus Dur adalah tokoh yang memperjuangkan pluralisme dan toleransi di Indonesia. Perjuangan beliau sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Neng Eem di Jakarta, Rabu (29/1).
Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan hak-hak minoritas di Indonesia, termasuk kebebasan beragama dan berbudaya bagi etnis Tionghoa.
Selama bertahun-tahun, warga keturunan Tionghoa mengalami diskriminasi di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam menjalankan tradisi dan agamanya.
Sebelum reformasi, masyarakat Tionghoa di Indonesia menghadapi berbagai pembatasan.
BACA JUGA:Komisi III DPR RI Dukung Pelantikan Kepala Daerah Non-Sengketa MK
BACA JUGA:PDIP: Selamat Ulang Tahun Megawati Soekarnoputri ke-78
Inpres No. 14 Tahun 1967 yang diterbitkan oleh pemerintahan Soeharto membatasi praktik keagamaan dan kebudayaan Tionghoa di ruang publik.
Tradisi seperti barongsai, perayaan Imlek, dan penggunaan aksara Mandarin dihapuskan dari kehidupan sehari-hari.