Sebagai sebuah sistem sosial, judi tidak bisa dihapus sepenuhnya dari budaya masyarakat Indonesia.
Semiarto pun menyebutkan salah satu penelitian dari seorang antropolog Amerika Serikat, Clifford Geertz, yang telah banyak meneliti sistem sosial di Jawa dan Bali, termasuk salah satunya tentang sabung ayam. Adapun di Jawa, masyarakat lebih akrab dengan istilah totohan atau taruhan.
Ada dua hal yang digarisbawahi Semiarto dalam aktivitas berjudi yang telah melekat dengan budaya masyarakat, yakni solidaritas dan harapan.
Kedua hal tersebut membuat judi sulit diberantas dari sistem tatanan sosial.
“Menghilangkan judi, sabung ayam, misalnya, sama dengan menghilangkan gagasan-gagasan yang ada di komunitas itu. Gagasan dalam sabung ayam itu ada harapan, di sana yang bermain tidak hanya pejudinya, tetapi yang menonton juga ikut bertaruh, mereka meletakkan kepercayaan pada satu sama lain,” paparnya.
Sabung ayam dalam penelitian Clifford Geertz juga menunjukkan aspek yang kompleks dari kedekatan kebudayaan.
Sama halnya dengan tradisi totohan di Jawa, yang mengedepankan solidaritas, di mana kedekatan dapat menentukan apakah seseorang layak menerima modal lebih besar berdasarkan tingkat kepercayaan sesama rekan penjudi.
Dalam penelitian Clifford Geertz terkait dengan hierarki sosial, perjudian itu story they tell themselves about themselves, atau cerita yang mereka ceritakan tentang diri mereka sendiri.
Jadi, menurut dia, yang bertaruh bukan hanya yang punya jago, yang menonton juga bertaruh. Maka, judi itu salah satu cerita yang menggambarkan kehidupan mereka.
Judi yang sudah melekat dalam tatanan sosial tersebut membuat keberadaannya tidak bisa dihapus begitu saja karena sudah masuk ke dalam tatanan nilai, struktur sosial, dan tatanan kehidupan sehari-hari.
Apalagi ketika sudah menjadi industri, perputaran uang di dalam judi menjadi semakin besar, bahkan melibatkan pihak-pihak yang sangat kuat dan berpengaruh di lingkungan sekitar.
“Di level yang lebih tinggi, perusahaan-perusahaan itu bahkan sudah memiliki kerangka hukum, biasanya (arena judi) ditutup dengan arena ketangkasan atau hiburan, ada entitas legalnya. Jadi kalau ditangkap, mereka bisa bilang bahwa mereka sudah punya izin. Jadi, ini sudah saling terikat satu sama lain, sistem yang rumit, tidak akan bisa akan hilang begitu saja,” paparnya.
Kebijakan Melindungi Masyarakat Rentan
Para ahli antropologi dunia menilai bahwa judi adalah permainan yang membutuhkan kemampuan atau skill tingkat rendah (low skill games), karena hanya akan menghasilkan tiga kemungkinan yaitu menang, kalah, atau seri.
“Judi yang low skill itu, kita sangat familier, biasanya menggunakan metakomunikasi sinyal, atau sinyal-sinyal meta-komunikatif. Kita melihat perilaku binatang tertentu, serombongan burung berputar beberapa kali, angka-angkanya ketemu, lalu dipasang angkanya, kita menerjemahkan itu sebagai isyarat dan tanda-tanda, itulah yang ditemukan di tengah masyarakat sehari-hari,” kata Semiarto.
Mengingat judi telah menjadi sebuah sistem keyakinan, ia menilai bahwa sangat sulit untuk menghilangkan judi sepenuhnya.