Membawa Kesatuan Dalam Perpecahan Umat
MESRI, negeri yang sebelumnya menjadi pusat kekuasaan Ali bin Abi Thalib, kini berpaling ke pangkuan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Era kekuasaan Muawiyah bukan hanya terbatas pada Mesir; wilayahnya merentang dari negeri Syam hingga Hijaz dan Yaman. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib hanya memegang kendali atas Irak dan Persia.
Meski dalam situasi yang rawan, Ali memilih untuk berdamai dengan Muawiyah sambil menghormati batas wilayah masing-masing.
Namun, keadaan tak berlangsung lama, karena dendam kaum Khawarij terhadap Ali masih menyala.
BACA JUGA:10 Rahasia dan Keajaiban Puasa: Melampaui Sekadar Ibadah, Mengungkapkan Kekuatan Luar Biasa
BACA JUGA:Kisah Sahabat Nabi Muawiyah bin Abu Sufyan (13)
Dua tahun setelah pertempuran Nahrawan, Ali dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam atas dendam kaum Khawarij.
Keputusan ini membuka jalan bagi pihak pendukung Ali untuk mengangkat Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Namun, Hasan kemudian memilih untuk mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah.
Keputusan tersebut didasari oleh berbagai faktor, termasuk keinginan untuk mengakhiri pertumpahan darah yang tak kunjung usai dan pengalaman Hasan dalam melihat intrik-intrik politik yang merugikan ayahnya di Kufah.
BACA JUGA:Kapan Perkiraan Malam Lailatul Qadar Ramadhan 2024? Simak Jadwal dan Keistimewaannya!
BACA JUGA:Puasa Ramadhan: Tradisi Bersejarah yang Menyatu dengan Kehidupan Umat Islam
Pada tahun 41 H, Hasan menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Muawiyah, tahun yang dikenal sebagai Amul Jama’ah (Tahun Kesatuan), sesuai dengan sabda Rasulullah tentang peran Hasan dalam menyatukan umat Islam yang berselisih.
Muawiyah kemudian menjadi pemimpin Dinasti Umayah, memimpin kaum Muslimin selama dua puluh tahun sejak masa gubernur Syam hingga wafatnya.