Jangka pendek memang membangun citra positif, tetapi jangka panjang menimbulkan ketidakpercayaan.
Setelah reformasi, publik jauh lebih sensitif terhadap praktik komunikasi yang dianggap mengekang.
Perdebatan iklan di bioskop seharusnya tidak dilihat sekadar siapa benar dan siapa salah.
Lebih penting adalah menjadikannya momentum untuk memperkuat tata kelola komunikasi publik di Indonesia.
Pemerintah perlu memastikan setiap pesan yang disampaikan sesuai dengan prinsip keterbukaan, proporsional, dan menghormati ruang publik.
Bagi masyarakat, peristiwa ini menjadi cermin untuk menumbuhkan literasi media.
Publik perlu membiasakan diri menyaring pesan, membandingkan dengan data resmi, dan tidak sekadar menolak atau menerima mentah-mentah.
Sikap kritis, tetapi konstruktif, akan memperkuat demokrasi.
Bagi industri hiburan, seperti bioskop, kejadian ini bisa menjadi pelajaran penting untuk menetapkan kebijakan editorial.
Transparansi kepada penonton, misalnya dengan mencantumkan label “Iklan Pemerintah” di layar, bisa menjadi solusi sederhana agar tidak menimbulkan salah persepsi.
Pertama, pemerintah perlu membuat regulasi khusus terkait penayangan iklan publik di ruang hiburan.
Aturan ini mencakup klasifikasi, label, frekuensi, dan transparansi dana.
Kedua, semua klaim dalam iklan harus bisa diverifikasi, misalnya dengan mencantumkan tautan ke situs resmi pemerintah agar publik bisa mengecek data.
Ketiga, ruang hiburan sebaiknya dijaga tetap netral.
Jika pun ada penayangan iklan pemerintah, harus dilakukan secara terbatas dan transparan.
Keempat, perlu ada mekanisme pengaduan yang jelas.